Anies Baswedan resmi dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta bersama pasangannya Sandiaga Uno, Senin, 16 Oktober 2017. Dari Istana Negara menuju Balai Kota DKI, pada malam hari, Anies langsung menuai cercaan karena pidatonya menyebut kata ‘pribumi’.
“Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka. Kini saatnya kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti yang dituliskan dalam pepatah Madura, itik yang bertelur, ayam yang mengerami. Kita yang bekerja keras untuk merebut kemerdekaan, kita yang bekerja keras untuk mengusir kolonialisme, kita semua harus merasakan manfaat kemerdekaan di Ibu Kota ini…”
Maka timeline media sosial pun ramai. Facebook, Twitter hingga grup WA ramai kecaman terhadap Anies. Dikaitkan dengan kemunculan spanduk bertuliskan ‘Kebangkitan Pribumi Muslim’ yang diduga dibentangkan di depan Balai Kota pada hari pelantikan pasangan gubernur-wakil gubernur ini.
Lalu, linimasa pun penuh dengan kutipan Undang-undang No.40 Th.2008 Tentang penghapusan diskriminasi ras & etnis telah meniadakan istilah pribumi/cina yang ada WNI.
Teruuus berlanjut.. dari yang asli sampai kabar palsu. Dari pelaporan Anies ke polisi oleh sebuah organisasi masyarakat berlambang banteng, sampai muncul grafis hoax bahwa Sumitro Djojohadikusumo yang ayah Prabowo Subianto dikabarkan bernama asli Tionghoa.
Come on, janganlah menjadi bangsa yang mudah terpantik emosi. Perang media sosial membuat kita terus belajar menjadi dewasa.
Dalam kunjungan kerja menghadiri Rapat Koordinasi Nasional Pondok Pesantren Muhammadiyah di Pondok Pesantren Darul Arqam Muhammadiyah, Garut, Selasa 17 Oktober 2017 sore, Presiden Jokowi menceritakan bahwa penyebaran kabar bohong dan fitnah di media sosial tidak hanya terjadi di Indonesia. Di negara lain, seorang kepala negara pun menyebutkan bahwa di negaranya media mainstream dapat dikuasai, namun media sosial tidak dapat dikendalikan.
“Televisi dan koran bisa kita kuasai tapi media sosial tidak bisa,” ujar Presiden.
Kepala negara tersebut pun bertanya kepada Presiden Jokowi tentang aktivitas media sosial di Indonesia.
“Bertanya kepada saya, bagaimana di Indonesia? Kalau di Indonesia media sosial kejam banget,” kata Presiden.
Presiden pun memberikan contoh bagaimana sebuah foto hasil rekayasa beredar di media sosial. Dalam foto itu, terpampang foto D.N. Aidit dan dirinya pada tahun 1955.
“Saya tahun 1955 belum lahir. Kalau orang tidak bisa menyaring kan bisa percaya. Ini maunya apa? Maunya membangun informasi yang dikelirukan,” ujar Presiden.
Pesan Presiden memberi kita moral values, bahwa kita harus terus menyaring, agar tak mudah terpancing. Jangan termakan desain untuk memecah. Jangan berjoget di gendang yang ditepuk oleh mereka yang ingin kita berkelahi..
Sebagaimana ditayangkan di http://tz.ucweb.com/10_218F9