Hari ini ada sebuah berita tersebar dari jaringan percakapan telepon pintar. Hikmahnya, bagaimana kita harus bersyukur atas perjalanan karir kita, semacet apapun itu.
Dari kisah perjalanan hidup prajurit TNI Angkatan Udara Hadi Tjahjanto, yang dalam hitungan hari –atau bahkan jam- akan dilantik jadi Panglima TNI.
Konon, Hadi yang belum genap setahun menjabat sebagai Kepala Staf TNI AU, senyatanya pernah mengalami karir yang sangat pas-pasan, bahkan dianggap jeblok, sejak letnan dua hingga kolonel.
“Saya bahkan mungkin tidak akan bisa ke perwira tinggi, kalau tidak ada campur tangan dari Kasum TNI, lantas saya dipinjamkan ke Basarnas sehingga bisa bintang satu,” tutur Hadi dalam sebuah kesempatan wawancara di rumah dinas KSAU, Kompleks Halim Perdanakusumah, beberapa waktu lalu.
Hadi masuk Akademi Angkatan Udara tahun 1982. Ayahnya, Bambang Sudarto seorang bintara TNI AU di Lanud Abdurachman Saleh, Malang, tidak punya apa pun untuk mendukung cita-cita anaknya menjadi perwira AU. Bahkan, semula dia menganjurkan anaknya masuk STM grafika supaya bisa cepat bekerja.
Maklum, ketika itu keluarga Bambang Sudarto yang berdinas sebagai teknisi pesawat dengan delapan anak, sangat sederhana. Istrinya membantunya berjualan rujak cingur di kompleks, tapi hasilnya sangat minim karena tetangga sebelah rumah pun membuka warung serupa. Untuk membantu, Hadi pernah bekerja sebagai caddy golf, bahkan ngasak, yakni mencari jagung sisa panen yang tercecer di kebun.
“Tapi saya sangat ingin masuk AU. Bapak saya pun mendorong, tapi beliau berpesan tidak usah berharap terlalu tinggi. Akhirnya saya mendaftar ke AAU juga karena waktu itu pendaftarannya lebih dulu daripada Sekolah Calon Bintara atau Tamtama. Tapi memang saya sangat ingin jadi penerbang, karena sejak kecil Bapak sudah mengenalkan saya dengan pesawat-pesawat pancar gas (sebutan untuk pesawat jet saat itu) AURI yang hebat-hebat. Juga nama-nama penerbang kebanggaan AURI di masa lalu seperti Leo Wattimena, Ignatius Dewanto dan lain-lain,” tutur Hadi.
Akhirnya Hadi lolos seleksi, dan menjalani kehidupan sebagai Karbol, sebutan untuk taruna AAU. Setelah lulus Sekolah Penerbangan TNIAU, Hadi tak mendapat tempat di skuadron mana pun, karena dia dikaryakan sebagai pilot sipil di Deraya Air Service selama lima tahun. Bukan penugasan bergengsi, tapi Hadi justru bisa mengantongi jam terbang berlebih, sehingga bisa mencapai level captain pilot lebih dulu dari rekan-rekannya.
Setelah dari Deraya, Hadi bertugas di Skuadron 4 untuk menerbangkan pesawat angkut Casa 212, yang berarti pulang ke Malang. Sampai dengan pangkat Mayor, Hadi kemudian mendapat kesempatan menempuh Sesko di Perancis.
“Setelah itu seharusnya jadi komandan skuadron, tapi tiba-tiba nama saya dicoret digantikan orang lain. Ya sudah, saya terima saja, saya lalu menjadi perwira personalia di Lanud Adi Sutjipto. Setelah itu saya baru berkesempatan menjadi komandan skuadron, tapi di Skuadron Satuan Udara Pertanian, tugasnya nyemprot hama pakai pesawat Pilatus Porter. Itupun karena komandan skuadron yang lama meninggal dunia,” tutur Hadi.
Penugasan demi penugasan yang diterima Hadi berikutnya juga tidak pernah berada di tempat cemerlang. Setelah dari Satud Tani, Hadi menempati pos-pos jabatan personalia dan dosen AAU. Nasib yang mendatar selama bertahun-tahun itu membuatnya menjadi buah bibir di kalangan sesama perwira, dia dianggap kartu mati hanya karena tidak pernah bertugas di bagian operasional.
Di pangkat kolonel, Hadi kemudian mendapat job baru sebagai Komandan Lanud Husein Sastranegara, Bandung. Tapi tiba-tiba namanya kembali dicoret, berganti tugas ke Lanud Adi Soemarmo, Solo.
“Saya memang tidak pernah pilih-pilih dan menolak tugas, karena begitulah seharusnya prajurit Saptamarga. Juga karena pesan orangtua saya untuk selalu menjalankan kewajiban dengan sebaik-baiknya. Ya sudah, bersama istri saya datang ke Solo, naik kereta api karena memang uang saya belum berlebih untuk naik pesawat,” kenangnya.
Lepas tugas dari Solo, ada senior yang bermasalah pribadi dengannya, Hadi mengakui kondisi itu sulit membuatnya naik ke level perwira tinggi. Namun akhirnya dia mendapat pangkat marsekal pertama di Badan SAR Nasional, dengan jabatan Deputi Bidang Operasi.
Lagi-lagi ada rintangan, Kepala Basarnas memerintahkan dia bertukar jabatan dengan deputi lainnya, namun pertukaran itu tidak resmi, sehingga berakibat Hadi harus mengurus pekerjaan dua bidang sekaligus. “Ya, benar seperti itu, semua pekerjaan kecuali uangnya,” komentar Hadi.
Nama Hadi Tjahjanto baru mencuat ke publik saat dia ditugasi menjabat Kepala Dinas Penerangan TNI AU. Pada bulan Desember 2014 terjadi musibah jatuhnya pesawat Air Asia di perairan Sampit, Kalimantan Tengah. Hadi menjadi pusat perhatian media, karena kemampuannya menjelaskan musibah dan proses SAR yang sedang berlangsung, juga karena sangat mudah dihubungi oleh wartawan.
Marsekal Pertama Hadi Tjahjanto kemudian mendapat penugasan berikutnya sebagai Komandan Lanud Abdurachman Saleh. Di sana, dia bertemu dengan Presiden Jokowi yang saat itu singgah di Lanud dalam perjalanan ziarah ke makam Bung Karno di Blitar.
Jokowi mengenal Hadi saat masih Walikota Solo. Sembilan bulan setelah itu, Hadi pun ditarik ke Istana sebagai Sekretaris Militer Presiden, tentunya dengan pangkat baru bintang dua di pundaknya. Hanya sekitar setahun, Hadi menerima promosi baru sebagai Irjen Kementerian Pertahanan dengan pangkat marsekal madya.
Di setiap bidang, Hadi Tjahjanto selalu membuat perbaikan dan pembaruan yang signifikan. Namun yang tidak pernah dilupakan adalah bagaimana membuat prajurit bawahannya menjadi lebih sejahtera lahir batin.
Ketika kemudian Hadi dilantik sebagai Kepala Staf Angkatan Udara, selain membuat program peningkatan kemampuan TNI AU untuk menjaga kedaulatan Indonesia, dia juga memikirkan bagaimana anak-anak prajurit bisa bersekolah dengan baik.
“Kami kan punya sekolah Angkasa, SD sampai SMA. Ke depan semua sekolah di Yayasan Angkasa itu harus berkualitas setara. Jadi kalau anggota TNI AU pindah tugas dari Jakarta ke Papua, anaknya bisa ikut, langsung pindah sekolah tanpa bayar lagi. Ini sangat penting untuk ketenteraman keluarga prajurit,” kata Hadi.
Begitulah, ternyata karir kita akan berbeda, jika kita bersyukur. Karir kita akan melejit membalik prediksi orang, kalau kita tekun. Keberuntungan datang kalau taat dan konsisten. Bayangkan, jika Hadi menggerutu, tak mau dipindah ke Solo –kota kecil- karena mendadak tak jadi ditugaskan ke Bandung. At the end of the story, kita semua tahu, di Sololah, Danlanud Adi Soemarmo itu berkenalan dengan seorang walikota bernama Joko Widodo. Selebihnya adalah sejarah.
Kisah mengubah sejarah dan prediksi orang ini dialami Liverpool, klub favorit saya. Hingga malam tadi, Liverpool bisa saja tergelincir dari perhelatan Liga Champions dan gagal lolos ke fase knock-out, jika kemudian kalah dari Spartak Moskow dan Sevilla menang pada partai yang sama versus Maribor. Pertahanan Liverpool yang buruk membuat rasa was-was akan mimpi buruk itu. Partai kelam dua pekan silam, unggul 3-0 melawan Sevilla, kemudian berakhir dengan 3-3 pada akhir pertandingan.
Tapi, yang terjadi pagi tadi, Liverpool menang 7-0 dan mencatatkan diri sebagai juara grup sekaligus klub tersubur di antara lima tim Inggris di Liga Champions musim ini. Dengan 23 gol yang dilesakkan di babak penyisihan grup, Liverpool ada sebagai tim peringkat kedua tersubur di sepanjang sejarah Liga Champions, di bawah Paris St Germain (25 gol).
Jangan khawatir, kalau kita diremehkan dan seolah perjalanan karir kita akan buruk. Marsekal Hadi dan Liverpool sudah membuktikan itu: membalik ramalan dengan keberuntungan yang dicapai melalui kerja keras!
Salam tujuh nol…
Seperti ditayangkan di http://tz.ucweb.com/12_2ubIs