Jadi, setelah tiba di tempat tujuan liburan nan jauh dari ibukota tempat biasa bersibuk mencari rupiah, ke mana akhirnya hari-hari wisata diarahkan?
Sungguh terlalu, jika sudah jauh-jauh ke Yogyakarta -misalnya- tapi di sana tetap saja yang dituju adalah pusat perbelanjaan. Apalah sebenarnya beda Ambarrukmo Plaza dan Lippo Plaza di Jalan Adi Sutjipto, Jogja City Mall di Jalan Magelang, atau Mall Malioboro dibandingkan Grand Indonesia, Pacific Place, Senayan City, FX, Pejaten Village dan lain-lain. Bukankah pada dasarnya semua mall yang itu hakikatnya sama, yakni menumbuhkan budaya konsumerisme?
Beruntunglah Yogyakarta, lebih khusus Kabupaten Sleman, punya begitu banyak desa wisata. Kampung-kampung yang secara orisinal mempersiapkan diri menerima para pendatang. Mereka menjual secara khas apa keistimewaan daerahnya, baik itu suasana alam dan magis spot, buah-buahan lokal, kebudayaan, kerajinan, atau apa saja.
Kami memilih Desa Wisata Pulesari, tak jauh dari Kecamatan Turi, di Kabupaten Sleman. Desa wisata ini menyediakan penginapan alias homestay di rumah-rumah penduduk, yang beberapa di antaranya sengaja dilengkapi dengan pendopo untuk berkumpul dan tempat makan bagi tamu. Selain dari keluarga atau sekolah, yang biasa memanfaatkan penginapan, pendopo dan panggung di Pulesari yakni komunitas kampus yang menggelar Malam Keakraban sebagai penggemblengan pengurus atau anggota baru organisasi.
Namun, ‘jualan utama’ Desa Wisata Pulesari yakni tracking susur sungainya. Lebih aman, dan lebih murah dibandingkan arung jeram, tapi tantangan dan kebersamaannya tak kalah mengasyikkan, terutama bagi bocah. Harganya pun jauh lebih bersahabat, sekitar Rp 25 ribu per orang tanpa paket makan, dan ditambah sekitar Rp 15 ribu per paket makannya.
“Sejak 2012 kami mengembangkan desa wisata ini. Tracking sungai dibuat bersahabat, dengan pemandu yang menjadi guide, memastikan keamanan, sekaligus bisa menjadi tukang jepret foto bagi peserta,” kata Prayitno, salah seorang warga yang mengelola wisata penginapan dan susur sungai di Pulesari.
Rute trackingnya penuh berbagai mainan variatif. Mulai menyeberangi jembatan kayu dengan tapak-tapak di atas kali (upps.. jangan remehkan ya.. saya tercebur tuh), bermain menangkap ikan, hingga puncaknya, tracking di sungai berarus, yang di sela-selanya diberi berbagai hambatan dan rintangan.
Dalam portal resminya, Desa Wisata Pulesari dibentuk pada 9 November 2012 dan diresmikan oleh Dinas kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Sleman. Desa Wisata ini menyajikan sebuah wisata Alam dan Budaya Tradisi dalam artian Desa yang mempunyai potensi alam yang luar biasa sehingga perlu kita manfaatkan sewajarnya dan perlu dilestarikan kemudian Budaya Tradisi merupakan wujud dari Desa ini untuk selalu melestarikan Nilai-nilai Budaya yang ada dimasyarakat agar tidak punah ditelan zaman moderenisasi ini.
Desa wisata ini bertujuan untuk mempedayakan SDM dan SDA yang ada agar eksistensi Desa Wisata ini dapat dikenal dan diakui oleh masyarakat luas sehingga bisa menjadikan atraktif tersendiri bagi wisatawan yang hanya sekedar datang untuk menikmati suasana pedesaan yang ada di wilayah ini.
Dijamin, tak rugi melewatkan waktu di Desa Wisata Pulesari, yang sering disingkat dengan ‘Dewi Pule’ sebagaimana signage besar di pendopo utamanya.
Karena ‘terlanjur’ masuk kawasan Kaliurang, kami pun melanjutkan dengan ‘wisata budaya dan wisata sejarah’. Tujuannya yakni Museum Ullen Sentalu, yang menyajikan berbagai koleksi sejarah Keraton Yogyakarta dan Pakualaman. Harga musik museum yang kerap disebut ‘Ndalem Kaswargan’ ini Rp 40 ribu untuk dewasa dan Rp 20 ribu untuk anak-anak. Untuk wisatawan mancanegara, tarifnya berbeda sedikit. Tiket itu sudah termasuk pemandu wisata dan secangkir minuman herbal.
Museum Ullen Sentalu di lereng Gunung Merapi ini terletak di area Taman Wisata Kaliurang, atau 25 km di utara pusat kota Yogyakarta. Disebut-sebut sebagai museum terbaik di Indonesia, karena -meskipun milik swasta- koleksi benda-benda historis dan penuh kekayaan budayanya begitu berlimpah. Ditambah guide dalam bahasa Indonesia dan Inggris terlatih, membuat pengunjung mendapat kekayaan wawasan masa lalu tentang kerajaan Jawa dalam waktu hampir sejam perjalanan mengitari museum.
Nama Ullen Sentalu sendiri merupakan singkatan dari bahasa Jawa: ‘Ulating Blencong Sejatine Tataraning Lumaku’ yang artinya adalah ‘Nyala lampu blencong merupakan petunjuk manusia dalam melangkah dan meniti kehidupan’. Dengan nama ini masyarakat, Jawa khususnya, diharapkan terus belajar mengenai tradisi dan sejarahnya yang amat kaya.
Beberapa koleksi yang dipajang di beberapa ruangan antara lain seperangkat gamelan yang dihibahkan oleh seorang pangeran Kasultanan Yogyakarta, karya lukis dokumentasi tokoh-tokoh dari Dinasti Mataram, syair yang ditulis oleh para kerabat dan teman-teman GRAj Koes Sapariyam, koleksi batik dan juga koleksi foto pribadi putri tunggal Mangkunegara VII dari kecil hingga menikah. Ada juga kisah tentang puteri cantik yang konon menolak cinta Bung Karno karena prinsip menolak poligami.
Agar pengunjung fokus pada kekayaan sejarah dan nilai-nilai budaya yang dikisahkan sang pemandu, larangan mengambil gambar foto maupun video diberlakukan dengan tegas. Tapi, jangan khawatir, di pintu keluar bisa mengambil gambar sebagai ‘bukti’ Anda pernah berkunjung ke mari.
Jadi, sudahilah berkunjung ke Mall di Yogyakarta -yang konon pada liburan Natal dan Tahun Baru ini mendapat limpahan 5 juta wisatawan dari dalam dan luar negeri.
Sebaliknya, mari berpaling ke wisata budaya, wisata alam, dan wisata sejarah. Agar kebersamaan dalam keluarga jadi kuat, dan wawasan pun bertambah kaya.
Seperti ditayangkan di http://tz.ucweb.com/12_45dpp