Pembicaraan di dunia dalam jaringan (online) pagi ini masih seputar aksi Zaadit Taqwa, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI), yang Jum’at 2 Februari 2018 kemarin mengacungkan buku nyanyian berwarna kuning di Balairung Universitas Indonesia, Depok. Saat itu, Presiden Jokowi baru kelar menghadiri seremonial Dies Natalis ke-68 Universitas Indonesia, sekaligus meresmikan Forum Kebangsaan bersama Rektor UI Muhammad Anis.
Gaya Zaadit menangkat tinggi buku kuning ibarat seorang wasit dalam pertandingan sepakbola yang mengacungkan kartu kuning pada pemain di lapangan, ketika sang pemain melakukan pelanggaran atau tindakan tak patut. Maka, pro kontra pun kemudian muncul. Ada yang mendukung aksi Zaadit, hingga muncul tagar #SaveZaaditTaqwa karena menganggap aksinya sebagai peringatan terhadap berbagai isu terkini: dari Kejadian Luar Biasa di Asmat sampai usulan perwira tinggi polisi menjadi pejabat gubernur. Namun, ada pula yang menganggap aksi Zaadit terlalu berlebihan.
Dari pihak Istana maupun tim pengamanan presiden, tak ada aksi berlebihan terhadap aksi mahasiswa jurusan Ilmu Fisika FMIPA UI ini. Istana tak tersinggung dan menganggapnya biasa. Kalaupun ada respon, ya Zaadit digiring ke luar oleh Paspampres, dan acara Presiden Jokowi yang semula dijadwalkan berdialog dengan BEM UI pun batal.
“Presiden Jokowi biasa saja, tidak tersinggung. Dari awal memang sudah ada agenda Presiden ketemu BEM UI itu selepas acara. Tapi acara itu batal karena aksi tersebut,” jelas Johan Budi, staf khusus dan juru bicara Presiden Jokowi yang juga alumnus UI.
Zaadit pun menuai banyak hal dari aksinya. Paling gampang, tentu pengikut di akun sosmednya melonjak drastis. Hal lain, terkait jejak digitalnya di media sosial, terbaca segala macama aktivitas, maupun afiliasinya yang pernah mempromosikan partai tertentu.
Kita hidup di dunia demokrasi. Alam kebebasan berekspresi dan berpendapat harus kita syukuri pasca 1998. Asal tak keterlaluan dan sampai terhitung sebagai penghinaan terhadap lambang negara, aksi protes atau aspirasi rakyat terhadap pemimpinnya toh sah-sah saja.
Mei 2005, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pernah memvonis hukuman penjara 6 bulan terhadap Monang J Tambunan karena terbukti bersalah melakukan penghinaan dengan sengaja terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan umum.
Ketua majelis hakim Cicut Sutiarso mengetuk palu bahwa Monang Tambunan, anggota Presidium GMNI, melanggar pasal 310 KUHP -tentang menghina serta menyerang kehormatan dan nama baik seseorang- saat aksi memperingati 100 hari masa pemerintahan SBY-Kalla di depan Istana Presiden.
Dalam masa jabatan periode kedua, SBY pun pernah didemo sekelompok pemuda yang menamakan diri Pemuda Cinta Tanah Air (Pecat) dengan membawa seekor kerbau ke Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, pada 28 Januari 2010.
Unjuk rasa besar-besaran masyarakat terkait 100 hari Pemerintahan SBY-Boediono itu membawa kerbau bertempel foto SBY dan tulisan dengan cat putih ‘SiBuYa’. Aksi itu menjadi bahan perbincangan, bahkan disinggung Presiden SBY dalam rapat kabinet di Istana Cipanas.
“Di sana ada yang teriak-teriak SBY maling, Boediono maling, menteri-menteri maling. Ada juga demo yang bawa kerbau. Ada gambar SBY. Dibilang, SBY malas, badannya besar kayak kerbau. Apakah itu unjuk rasa?” ungkap SBY kesal.
Akan halnya aksi di Universitas Indonesia yang melahirkan tagar #KartuKuningJokowi ada baiknya saya kutip dua pernyataan sahabat saya di akun Facebooknya.
Okta Wiguna, karib saya yang sama-sama pernah sealmamater di Tempo menulis, “Setelah lihat videonya dan baca keterangan Johan Budi, Ketua BEM bukan kasih kartu kuning tapi tunjukin buku lagu UI: “Pak, ini titipan Pak Dibyo, nyanyi almamaterkuuuu setia berjasaaaaa, universitas Indonesiaaaaaa.”
Pakde bukan tersinggung, tapi kan dia anak UGM jadi gak tahu lagu itu. Dia gak tahu siapa Pak Dibyo. *CumaAnakUIyangNgerti”
Okta menyinggung bahwa kartu kuning yang ditunjukkan sang Ketua BEM UI sebenarnya merupakan buku lagu bersampul kuning. Adapun AG Sudibyo merupakan seorang dirijen kenamaan di kampus kuning itu, pemimpin paduan suara Universitas Indonesia, yang perjalanan dan profil dirinya masuk dalam film The Conductors garapan Andibachtiar Yusuf.
Sementara itu Yurgen Alifia, karib saya yang sama-sama pernah sealmamater di CNN Indonesia TV menulis,
“Di UI dulu saya dibekali apa yang disebut sebagai Tri Dharma Perguruan Tinggi.
1. Pendidikan dan pengajaran
2. Penelitian dan pengembangan
3. Pengabdian masyarakat
Salah satu teman baik saya bilang “Tri Dharma itu berjenjang, lu fokus dulu belajar, neliti, baru lu mengabdi ke masyarakat”.
Logis. Cuma saya kurang sependapat. Ada mahasiswa yang lebih mencurahkan waktu ke pendidikan, ada yang suka neliti, ada yang suka konkrit mengabdi. Sah-sah saja. Ngga usah dibuat berjenjang. Tergantung minat. Yang konsisten melakukan ketiganya itu mahasiswa super menurut saya. Keren.
Cuma kalau sekelas BEM UI itu kelas pengabdian masyarakatnya harus lebih tinggi lagi dari sekedar angkat kartu kuning.
Saya memimpikan mereka bikin RPJMN tandingan. Atau RUU tandingan. Atau kebijakan tandingan
Buktikan secara empiris kenapa pemerintah salah di sana sini. Dahsyat itu. Bagi saya itulah kontribusi tertinggi kaum intelektual. Kenapa? namanya kaum intelektual, peluru utamanya ya intellect.
Sekarang gini deh, mau bicara gizi buruk, ngga usah jauh-jauh ke Asmat.
Di Depok kasus balita gizi buruk dan stunting (kurang gizi) masih tinggi. Di depan mata.
Semoga kita semakin berlomba-lomba menyebar manfaat buat masyarakat!”
Jadi tak usah pening. Anggaplah kartu kuning sebagai kritik membangun. Tapi, kembali juga ke mahasiswanya, apa cuma itu yang bisa klean lakuan?
Seperti ditayangkan di http://tz.ucweb.com/2_2k5OC