Minggu, 11 Februari 2018 adalah sebuah tragedi saat terjadi penyerangan di Gereja St. Lidwina, Bedog, Sleman, Yogyakarta. Teringat jelas, siang itu saya sedang memainkan laptop di lantai atas rumah, sembari bermain bersama sepasang buah hati yang kadang pengen gantian menggunakan komputer jinjing ini untuk permainan online.
Tiba-tiba, dari lantai dasar, isteri saya menelepon dan agak panik mengisahkan terjadinya peristiwa di Bedog itu. Gereja yang merupakan stasi dari Paroki Kumetiran Yogyakarta ini sudah beberapa kali liburan menjadi tempat kami beribadah setiap mudik pada Lebaran dan Tahun Baru. Tentu saja, terakhir pada Natal 2017 dan Tahun Baru 2018 lalu.
Kami teringat ada bapak di sana. Kepanikan melanda saat susah menghubungi bapak melalui teleponnya, menanyakan apakah beliau ada di tempat misa saat peristiwa itu terjadi. Lama sekali tak ada koneksi ke telepon rumah maupun ponselnya. Sampai hampir sejam kemudian, Bapak mengabarkan dirinya baik-baik saja. Beliau mengikuti Misa pada Sabtunya, dan sudah update dengan kondisi terbaru di gereja.
“Bapak gak papa kan? Bapak sehat-sehat saja ya?” kata putera sulung saya lewat telepon.
Pada saat-saat itu, dunia sosial media terus memberikan informasi terbaru. Dan dua anak saya menyaksikan semua. Video pendek saat pelaku beraksi, juga perkembangan jumlah korban terluka. Begitupula kala Harian Kompas hari Senin esoknya memasang kondisi Gereja Bedog malam hari pasca serangan.
Maka, begitu gembira saat beberapa hari kemudian koran-koran memuat ‘kontranarasi’ atas peristiwa traumatik itu. Untuk fairnya, anak-anak saya pun harus melihat gambar itu. Setidaknya ada empat media memuat foto pengobat luka. Ya, foto. Karena ada istilah, sebuah gambar lebih bermakna daripada seribu kata.
Media Indonesia edisi 14 Februari 2018, bersumber dari jepretan fotografer Antara, Andreas Fitri Atmoko, memuat foto kelompok yang menamakan diri ‘Srikandi Lintas Iman’. Empat perempuan, ada dua berhijab di antaranya, datang ke Gereja Santa Lidwina sebagai wujud solidaritas atas peristiwa penyerangan itu.
Koran Sindo hari yang sama, juga dari jepretan fotografer Andreas, menunjukkan foto suasana doa bersama Srikandi Lintas Iman DIY. Dua foto, yakni doa dalam ruangan dan penyalaan lilin sebagai bentuk keprihatinan dan solidaritas.
Foto doa bersama karya Andreas ini juga dipajang di Koran Tempo, 14 Februari.
Harian Kompas hari yang sama di Valentine Day’s itu, memasang foto karya jurnalisnya, Haris Firdaus, berupa gambar suasana doaa bersama Srikandi Lintas Iman sebagai bentuk dukungan kepada umat pasca tragedi tiga hari sebelumnya.
Semakin lengkap saat malam ini saya memperoleh kiriman gambar yang menunjukkan pematung dari Ganjuran, Bantul beragama Islam, menyerahkan patung Bunda Maria dan Tuhan Yesus untuk Gereja Santa Lidwina Bedog Sleman yang sebelumnya dirusak penyerang gereja.
Foto di pesan grup percakapan pintar itu diberi komentar penutup: Berkat berlimpah untuk Pak Bagong dari Ganjuran. Sekali lagi Toleransi menang melawan Radikalisme. Sebelumnya, dalam rangkaian foto yang menunjukkan aksi kekerasan Minggu pagi, terpotret rusaknya patung Yesus. Kepalanya rusak terpenggal.
Masih banyak orang baik di Indonesia. Radikalisme dan ekstremisme harus dilawan bersama-sama dengan saling bergandeng tangan. Menunjukkan pada pihak-pihak yang sengaja memancing, bahwa IND-ONE-SIA itu satu, tak pisah dipecah-pecah seperti mau mereka.
Seperti ditayangkan di http://tz.ucweb.com/2_4b3fF