Masa-masa Sekolah Dasar, saya mengenal nama Manokwari lewat klub sepakbola berjuluk ‘Hino Cofu’ alias Ular Putih. Nama-nama Adolf Kabo, Yonas Sawor, dan Elly Rumaropen begitu melegenda, saat tim berkostum hitam kuning asuhan Paul Cummings ini menembus final Divisi Utama Perserikatan 1986, sebelum ditaklukkan Persib Bandung di babak akhir.
Tak menyangka, pekan ini akhirnya bisa menginjak Manokwari, yang letaknya di ujung kanan kepala burung Papua. Kota yang penduduknya sekitar 200 ribu jiwa dengan luas 1.500 kilometer persegi. Bayangkanlah, sebuah wilayah yang luasnya sekitar 10 kali lipat dari kota Tangerang -tempat sehari-hari saya tinggal- dengan jumlah penduduk kira-kira seperdelapannya.
Konon, nama ‘Manokwari’ berasal dari bahasa Biak Numfor yang berarti ‘Kampung Tua’. Dinamakan begitu karena dianggap sebagai Kota Bersejarah dan tempat dimulainya peradaban di Papua ketika pada 5 Februari 1855 Injil diberitakan pertama kali di sini oleh duo misionaris berkebangsaan Jerman, Carel Willem Ottow dan Johann Gottlob Geislerr. Kabupaten Manokwari juga tercatat sebagai Kota Pemerintahan Tertua di Papua.
Kedatangan duo misionaris asal Jerman -mereka mati muda di usia 35 dan 40 tahun-menjadi titik awal hadirnya Injil di tana Papua. Karena itu, tiap 5 Februari diadakan ibadah besar, memperingati kedatangan Injil di Pulau Mansinam -sebuah pulau kecil di seberang daratan Manokwari.
Meski sebagai ibukota provinsi Papua Barat, Manokwari kalah ramai dan populasi penduduknya lebih kecil dari Sorong, kota ini tetap memikat. Kondisi tepi pantai, jalanan bagus, dan Bandara Rendani yang memiliki berbagai rute penerbangan ke Papua maupun kawasan tengah dan Jakarta (ada penerbangan langsung tanpa transit ke Bandara Soekarno-Hatta), menjadikan Manokwari menarik untuk dikunjungi.
“Memang harus waspada di sini. Ada aturan kalau membawa tas jangan dipangku, tapi diselempangkan. Banyak copet,” kata Karin, pegawai hotel tempat menginap, yang belum setahun datang dari Bekasi.
Beberapa usaha warung makan, kios fotokopi, hingga penarik ojek -di sini pengojek ditandai dengan helm berwarna kuning- diisi para pekerja dari Jawa. Maka, tak heran, Bahasa Indonesia berlogat Jawa menjadi tak asing didengar di sana.
“Pace, ini fotokopiannya dilipat aja ya, tak cukup,” teriak seorang pegawai kios fotokopi di depan Universitas Papua. Kampus yang bersemboyan ‘ Pro Humanitate Scientia’ ini awalnya berdiri sebagai pengembangan Fakultas Pertanian Universitas Cenderawasih dari Jayapura pada 1982, sebelum diresmikan pada 2000 menjadi Universitas Negeri Papua dan kemudian berganti nama menjadi ‘Universitas Papua’ (Unipa).
Dua hari mengisi pelatihan menulis di Unipa, tampak sekali antusiasme anak muda Papua Barat untuk mengembangkan aktualisasi dirinya. Mereka bersemangat untuk mengejar ketinggalan, dan menunjukkan bahwa pace mace Papua Barat tak kalah dibandingkan saudara-saudaranya di belahan lain Indonesia!
Sebagaimana ditayangkan di http://tz.ucweb.com/4_337H8