Datanglah ke Timor Leste, dan Anda akan tahu tim mana yang didukung oleh kebanyakan penduduk salah satu negara kecil termuda di dunia itu. Sudah lebih dari 15 tahun sejak kunjungan terakhir saya ke negeri matahari terbit itu –Timor Leste berarti Timor Timur, punya nama lain Timor Lorosa’e artinya tanah tempat matahari terbit- tapi saya tetap yakin, anak-anak muda di sana adalah penggemar berat timnas Portugal.
Dua bulan selama dua tahun berbeda di awal 2000-an, untuk sebuah kegiatan sosial, saya terdampar di sebuah desa di ujung timur Timor Leste. Di Kampung Baduro, salah satu pelosok Distrik Lautem, tak ada hiburan modern yang dapat dinikmati warga. Tak ada listrik — tentu jangan bicara televisi dan internet, pun tak ada bahan bacaan rutin. Angkutan pedesaan menuju Lospalos, ibukota distrik yang berjarak 1,5 jam perjalanan, hanya hadir sekali sehari.
Praktis, hiburan murah meriah bagi para anak muda putus sekolah dan petani ladang di sana adalah olahraga. Sepakbola, menjadi katarsis utama bagi mereka yang terdera kemiskinan.
Di lapangan berpasir samping gereja yang nyaris tak berumput, anak-anak muda macam Joao, Mario, Bosco, dan Ferdinand seperti tak sabar menanti sore datang. Kala akhir pekan tiba, kami menuju Pantai Com yang indah. Di sana anak-anak baru gede itu menendang bola di atas lapangan pasir, tak ubahnya Cristiano Ronaldo kecil menari-nari di Pantai Marina Funchal, di Kepulauan Madeira, Portugal.
Kegembiraan memuncak saat tiba waktunya digelar laga sepakbola antarkabupaten. Kami pun berbondong-bondong menuju Lospalos, dengan menumpang truk pasukan perdamaian PBB asal Korea. Secuil tanah di sudut Pulau Timor itu menjanjikan wajah-wajah antusias anak-anak yang gila bermain bola. Urusan skill nanti dulu, tapi semangat dan kerja keras mereka berbicara lebih dari teori.
Tak susah menerka mengapa anak-anak muda ini menjadi suporter fanatik Portugal. Ya, karena bangsa Portugis dikenal sebagai salah satu negara penjelajah samudra dunia, sejajar dengan Spanyol, dan Inggris. Tak heran, Portugis termasuk memiliki wilayah jajahan paling luas di dunia, mulai Brasil di Amerika Selatan, hingga mendirikan koloni di Afrika (seperti Guinea, Tanjung Verde, Angola dan Mozambik), India (Bombay, kini disebut Mumbai), Cina (Makau) hingga Pulau Timor di Oseania. Di Nusantara, mereka mencoba menaklukkan Kerajaan Sunda namun gagal, kemudian beralih ke Maluku, Solor, Flores, dan Timur.
Semua itu berkat andil keberanian para tokoh penjelajah ulung seperti Bartholomeuz Diaz, Vasco da Gama, Alfonso de Albuquerque dan Fransisco de Almaeda. Jangan lupakan juga Fransiskus Xaverius, kawan pendiri Serikat Jesuit Ignatius Loyola, yang datang dengan misi menyebarkan agama Katolik atas utusan Raja Portugis, Dom João III, di tahun 1540.
Bermula dengan ekspedisi penjelajahan pertama yang dikirim dari Malaka yang baru ditaklukkan pada 1512, bangsa Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang tiba di Nusantara, dan mencoba menguasai sumber rempah-rempah berharga. Negara-negara berbahasa Portugis sering disebut sebagai negara Lusophone, yang kalau ditotal jumlah penduduknya mencapai 280 juta, dari Brasil, Portugal, Angola, Mozambik, sampai Timor Leste, Macau, Guinea-Bissau dan Cape Verde.
Sementara itu, Imperium Spanyol memiliki jajahan di Belanda, Luksemburg, Belgia, sebagian besar Jerman, Perancis, dan banyak koloni di Amerika, Afrika, dan Asia. Dengan penjajahan daratan Meksiko, Peru, dan Filipina pada abad ke-16, Kekaisaran Spanyol mendirikan kekuasaan seberang laut pada skala dan distribusi dunia yang memberikan pengaruh global.
Nama-nama besar para penjelajah dari Spanyol tak susah diingat. Ada Christophorus Columbus, Amerigo Vespucci, Ferdinand Magellan dan Juan Sebastian del Cano. Dua nama terakhir merupakan dua orang tokoh yang pertama kali berhasil mengelilingi dunia. Atas keberhasilan ekspedisinya itu, Raja Spanyol menghadiahkan sebuah bola tiruan bumi bertuliskan ‘Engkaulah yang Pertama Mengitari Diriku’.
Di belantara sepakbola, dua negara ini sama-sama punya nama besar di ‘Benua Biru’ Eropa. Setelah gagal dalam babak kualifikasi di gelaran Piala Dunia 1934-1962, Portugal mencapai putaran final perdana pada Piala Dunia 1966 di Inggris. Sekali mentas, mereka sukses mengakhiri kiprah sebagai juara ketiga, dengan Eusebio menjadi top skor berkat sembilan gol koleksinya.
Portugal baru lolos kembali ke putaran final pada Piala Dunia 1986, yang ironisnya dinodai dengan ‘Skandal Saltillo’ yakni aksi mogok pemain sebagai bentuk protes kepada bobroknya manajemen federasi sepakbola mereka.
Selang 16 tahun, Portugal kembali lolos ke putaran final Piala Dunia 2002 di Korea-Jepang, tapi seperti juga pada 1986, mereka gagal melaju dari fase grup.
Tapi, di era 2000-an inilah ‘Generasi Emas’ Portugal lahir, lewat nama-nama macam Rui Costa, Deco, Nuno Gomes, Jorge Andrade, Simao, Luis Figo, kiper Ricardo, Tiago Mendes, Ricardo Carvalho dan tentu saja CR7.
Pada Piala Dunia Jerman 2006, Selecao melaju ke semifinal kembali, persis seperti 40 tahun sebelumnya. Meski kalah dari Prancis di semifinal dan takluk atas tuan rumah Jerman di perebutan tempat ketiga, tim asuhan Luiz Felipe Scolari pulang dengan predikat sebagai ‘tim yang paling menghibur sepanjang turnamen’.
Selanjutnya, mereka tak lagi absen dalam Piala Dunia 2010 dan 2014, serta kini datang ke Rusia dengan predikat juara Piala Eropa 2016.
“Ini adalah pertandingan ‘Clasico’. Kami adalah dua negara bertetangga, berbatasan dan punya banyak kesamaan dengan Spanyol. Termasuk bahwa kedua negara punya tim nasional yang sama-sama hebat,” kata pelatih timnas Portugal Fernando Santos, mengomentari laga perdana timnya melawan tim Matador Sabtu dini hari nanti di Fisht Olympic Stadium, Kota Sochi.
Santos enggan meremehkan Spanyol, yang tengah mengalami turbulensi kencang paska federasi memecat Julen Lopetegui yang dinilai tak etis menjalin kesepakatan dengan Real Madrid sementara tugas negara di Rusia belum tuntas. RFEF alias PSSI-nya Spanyo bergerak cepat dengan menunjuk Fernando Hierro sebagai pengganti Lopetegui di tim ‘La Roja’.
“Fernando Hierro adalah pelatih hebat. Saya yakin Spanyol akan menjalani turnamen kali ini dengan luar biasa,” kata Santos, yang semasa bermain punya posisi sama dengan Hierro sebagai pemain bertahan.
Portugal dan Spanyol akan banyak mendapat dukungan para penggila bola dari negara-negara yang pernah dijajahnya tapi kini tak lolos ke Piala Dunia. Dari Kuba, Puerto Riko, hingga Filipina di pihak Spanyol dan Angola, Mozambik, Makau, Sri Lanka serta Timor Leste yang setia mendukung Portugal.
Anak-anak muda itu bisa dibilang mengalami ‘Stockholm Syndrome’, sebuah respon psikologis di mana pihak yang awalnya disandera atau dijajah kemudian justru jatuh cinta pada penjajahnya. Sebuah sindrom yang diambil dari kisah nyata perampokan dan penyanderaan selama lima hari, 23-28 Agustus 1973 di Sveriges Kreditbank Stockholm, Swedia. Ketika akhirnya korban dapat dibebaskan, reaksi mereka malah memeluk dan mencium para perampok yang telah menyandera. Mereka secara emosional menjadi menyayangi penyandera, bahkan seorang sandera jatuh cinta dengan salah satu perampok dan membatalkan pertunangan dengan pacarnya setelah dibebaskan.
Jadi para pendukung dari bekas jajahan siapakah yang akan bersukacita malam nanti? Mampukah Portugal mengantungi modal tiga angka pertama dengan memanfaatkan limbungnya krisis nahkoda di kapal Spanyol?
Atau kedua negara yang dikenal sebagai imperium besar abad pertengahan itu akan berdamai seperti saat kedua negara ini bersatu dengan nama ‘Uni Iberia’ pada 1580 hingga 1640? Satu poin sebagai tanda damai negara tetangga yang sama-sama punya riwayat besar di dunia penjelajahan jagad raya?
Damangan Kidul, Yogyakarta, 15 Juni 2018
- Agustinus ‘Jojo’ Raharjo, penggemar sepakbola, saat ini bekerja sebagai Tenaga Ahli Komunikasi Politik dan Informasi Kantor Staf Preside
Seperti ditayangkan di http://beritajatim.com/olahraga/331314/stockholm_syndrome_dan_perang_dua_penjelajah_samudra_dunia.html dan