Bicara Itu Ada Seninya, Son!

“Mas, ayah minggu depan jalan ya. Ke Surabaya dua hari, lanjut ke Medan dua hari,” pamitku pada si sulung yang tengah sibuk mempersiapkan Ujian Praktik kelas VI SD.

Einzel menjawab dengan bertanya balik, “Acara apa?”

“Yang di Surabaya ngisi materi. Soal bagaimana kita membuat dan merawat media sosial lah.”

“Aku itu kalau besar pengen lho jadi pembicara kayak ayah.”

“Nah, makanya harus banyak baca. Selasa besok ujian praktik Bahasa Indonesia bawain pidato udah siap, belum?”

Begitulah percakapan akhir pekan lalu.

Di Surabaya, bersama praktisi olahraga Bung Kusnaeni kami bertandem mencerahkan para pegiat industri olahraga

Dan entah kenapa, ‘penyakit lama’ itu selalu datang. Malam jelang acara masih sibuk siapkan power point. Grogi. Beberapa kali ke kamar kecil. Bahkan sempat berniat urung berangkat meski sudah mendapat kode booking tiket Garuda. Terlalu sibuk urusan rutin –ngetwit dll- sampai belum beresin materi buat acara ini.

Tapi, begitu sudah mike di tangan, mengalir sudah. Tekniknya, jangan kuasai panggung dominan. Pakai PPT boleh, tapi jangan bergantung padanya. Pakai video penting, agar imajinasi audiens jadi liar.

Dan jangan biarkan microphone ada di tangan pembicara terus. Saya oper mike. Ajak mereka bicara.

“Sekarang bikin usaha apa?”

“Sudah punya media sosial apa?”

“Pernah menghadapi ‘crisis’ sebesar apa?

Mengalir, mengalir, mengalir dengan terstruktur dan tepat waktu. Karena tiga jam pasca acara, sudah harus berada di Garuda menuju Jekardah lagi.

My son, semoga bisa jadi pembicara besar di usiamu yang tepat nanti.

Jangan takut grogi. Jangan takut salah. Jangan pernah merasa puas. Pada saatnya nanti juga bakal ada ‘teori’, inovasi dan kreativitas baru di dunia public speaking.

Stay hungry, stay foolish!

Leave a Reply

Your email address will not be published.