Komunikasi Semiotik Jokowi: Berpihak pada Orang Kecil, Berpihak pada Korban

Jokowi kembali menunjukkan komunikasi politik non verbal tingkat tinggi. Dalam dua hari kerja berturut-turut, ia menerima tiga pedagang yang menjadi korban penjarahan dalam kerusuhan Jakarta 21-22 Mei 2019 lalu.

Senin, 27 Mei 2019, Jokowi menerima Usma, 64 tahun, pedagang kelontong di Jalan Wahid Hasyim, yang secara khusus ditemui di Istana Merdeka.Inilah istimewanya Jokowi. Di Jakarta, ada dua istana yang lokasinya saling bertolak belakang: Istana Merdeka dan Istana Negara. Di era sebelum ini, Istana Merdeka menjadi begitu ‘sakral’, hanya tamu negara, duta besar, dan tokoh-tokoh tertentu yang diterima di istana nan menghadap Monumen Nasional itu. Acara kepresidenan lain diterima di Istana Negara yang menghadap ke Jalan Veteran – Juanda.

Tapi, di era Jokowi, dari pemain timnas sepakbola senior dan yunior, pebulutangkis Liliyana ‘Butet’ Nasir yang pamit mau pensiun, buruh migran lolos hukuman mati Siti Aisyah, mantan presiden, anak mantan presiden, tokoh Aceh Nyak Sandang, pemuka agama, sampai tiga pedagang kaki lima korban kerusuhan pun diterima di Istana Merdeka. Apakah itu menghilangkan kesakralan dan kehormatan Istana Merdeka? Tentu tidak. Karena pada hakekatnya, prinsip Jokowi, istana adalah milik rakyat.

Usma datang sendiri menghadap Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta. Ia masuk dan keluar dari Istana Merdeka dengan menumpangi golf cart yang dikemudikan anggota Paspampres. Di hadapan awak media, Usma kemudian bercerita mengenai pertemuannya dengan Jokowi.

“Ini dikasih baju aja. Tiga ini. Gantinya baju saya kan habis dijarah,” ujar Usma kepada para jurnalis.

Dan lihatlah, tas plastik apa yang membungkus baju baru Usma itu: Shiva Textiles & Tailor, sebuah produsen tekstil kelas atas, milik pengusaha garmen asal India, yang outletnya ada di kawasan Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat. Tentu bukan ‘baju ganti’ kelas sembarangan yang dihadiahkan Jokowi pada Usma.

Usma mengaku, bukan hanya pakaiannya yang habis. Barang dagangannya berupa rokok dan minuman pun ludes dijarah massa pericuh.

“Kerugian ya sekitar 20-an juta lah. Dikasih modal sudah. Cukup, terima kasih banyak, alhamdulillah,” ungkapnya.

Pria yang sudah berjualan selama 25 tahun ini mengaku diminta Jokowi agar berjualan lagi dan bekerja keras. Ia pun hanya berharap kondisi Ibu Kota akan kembali kondusif.

“Saya minta aman-aman aja Jakarta,” itu keinginan Usma.

Sebelumnya, pada 24 Mei 2019, Jokowi menerima Abdul Rajab dan Ismail, dua pemilik warung yang juga menjadi korban penjarahan pada 22 Mei 2019. Keduanya pun berharap sama, agar kejadian serupa tidak terulang lagi di kemudian hari.

Abdul Rajab, 62 tahun, yang membuka kios di kawasan Agus Salim, Jakarta Pusat mengaku mengalami kerugian kurang lebih Rp 30 juta setelah kerusuhan itu.

“Pas malam itu massa dihalau aparat, mereka lari sambil menjarah. Pecah-pecahin warung pedagang kaki lima,” kisahnya.

Rajab tidak menyangka dapat dipanggil bertemu dengan Presiden dan memperoleh bantuan. Ia juga mengutarakan akan segera kembali membuka usaha setelah bantuan tersebut diterima.

“Ini alhamdulillah Bapak Presiden bantu kita. Kita bisa berusaha lagi,” tuturnya.

Sementara Ismail, 68 tahun, selain mengalami penjarahan barang dagangannya, juga kehilangan sejumlah tabungannya. Total kerugian dari kejadian tersebut diperkirakan berada di kisaran Rp 20 juta.

“Alhamdulillah ada sumbangan dari Bapak Presiden. Kami berterimakasih bisa bertemu Bapak Presiden Jokwoi,” ujar Ismail.

Ia pun menyampaikan harapannya agar peristiwa yang dialaminya itu tidak terulang lagi di kemudian hari.

“Jangan kejadian lagi kayak gitu. Kita kejadian kayak gitu udah ngeri,” kenangnya, pahit.

Jokowi tak banyak bicara dalam pertemuan itu. Ia pemimpin yang mendengar. Dan juga mencatat.

Begitupula usai pertemuan. Baik Jumat 24 Mei lalu dengan Rajab dan Ismail, maupun Senin 27 Mei dengan Usma, tak ada pernyataan pers darinya. Biarlah sang tamu saja yang bicara kepada media. Bukankah katanya kalau engkau memberi bantuan, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu?

Posisi Jokowi jelas dalam dua persamuhan ini. Pertama, ia berpihak pada rakyat kecil. Pedagang kelontong yang limbung usai toko dan barang dagangannya lenyap dihajar perusuh.

Kedua, Jokowi ada di sisi korban kerusuhan. Bukan di pihak pelaku kerusuhan. Duka memang ditujukan bagi setiap korban jiwa, termasuk juga bagi bocah yang niatnya bukan merusuh, tapi hanya menonton keramaian lalu terkena tembakan nyasar –yang jelas bukan dari pelatuk aparat keamanan.

Tapi, untuk mereka yang sama sekali tak ikut merancang kerusuhan, tidak pula mengeksekusi, tapi menjadi korban dan porak-poranda sawah kehidupannya, di situ Jokowi nyata-nyata ada.

(JJO)

seperti ditayangkan di

https://jokowidodo.app/post/detail/komunikasi-semiotik-jokowi-berpihak-pada-orang-kecil-berpihak-pada-korban

Leave a Reply

Your email address will not be published.