“Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu … Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.“
Lukas 3:14, I Timotius 6:10
Menjadi pemimpin itu harus sudah selesai dengan dirinya sendiri.
Kalimat ‘sudah selesai dengan diri sendiri’ ini kerap kita dengar dari mulut seorang Luhut Binsar Panjaitan, orang kepercayaan Presiden Joko Widodo selama dua periode. Opung LBP, demikian sapaan akrab pria Batak kelahiran 28 September 1947 itu, mengoleksi berbagai jabatan selama mendampingi Preisden Jokowi.
Resminya, LBP pernah menjabat Kepala Staf Kepresidenan, Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan serta Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi. Juga sebagai Menteri Energi Sumber Daya Mineral, Menteri Perhubungan, dan Menteri Kelautan Perikanan Ad Interim ketika posisi menteri sebenarnya sedang vakum.
Selain itu, Luhut pun mendapat kepercayaan sebagai Ketua Tim Nasional Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (P3DN), Ketua Dewan Pengarah Tim Penyelamatan Danau Prioritas Nasional, Wakil Ketua Tim Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN), Koordinator Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Jawa Bali, Ketua Tim Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI), dan terakhir sebagai Ketua Komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Di bidang olahraga, Luhut menjadi orang nomor satu di kepengurusan Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) untuk meneruskan cita-cita almarhum Bob Hasan, melahirkan atlet berprestasi dunia sekaligus olahragawan yang sejahtera dalam hidupnya.
Beberapa kali ungkapan kalimat ‘sudah selesai dengan diri sendiri’ ditegaskan Luhut. Salah satu yang paling tenar saat ramai skandal ‘Papa Minta Saham Freeport’, 2015.
“Mengenai saya sendiri, saya disebut-sebut dalam tape itu. Saya tidak pernah terlibat dalam urusan-urusan semacam itu,” kata Luhut.
“Saya sudah selesai dengan diri saya. Saya hanya melakukan tugas saya sebagai Menko. Saya tidak ada waktu untuk gitu-gituan,” tegasnya.
Menjadi pemimpin itu harus sudah selesai dengan dirinya sendiri.
Tentu yang dimaksud Bang Luhut, tak semata bahwa seorang yang memutuskan full time menjadi pelayan masyarakat harus menyerahkan hidup sepenuhnya pada kepercayaan yang didapatnya. Tidak boleh ambil gaji sama sekali.
Bukan itu. Pemimpin yang sudah selesai dengan dirinya sendiri memang lebih baik bila dia sudah kaya. Dengan punya harta berlimpah sebelum menjadi pejabat publik, harapannya pemimpin itu tak akan tergoda suap, gratifikasi, dan aneka bentuk korupsi lain. Tapi toh, logika itu tidak menjamin. Seorang bupati yang sebelumnya dikenal sebagai pengusaha dengan tiga puluhan perusahaan, akhirnya juga terciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena kasus suap pengisian jabatan di pemerintahan kabupatennya.
Menjadi manusia yang sudah selesai dengan diri sendiri artinya ia berada di puncak ‘Teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow’, yakni fase kelima atau aktualisasi diri. Pakar psikologi humanistik asal Amerika Serikat ini memaparkan lima kebutuhan dasar yang menggambarkan sebagai hierarki atau tangga kehidupan manusia.
Lima tingkat kebutuhan dasar itu yakni kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa lepas dari bahaya, kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Di posisi kelima inilah seharusnya kita berada. Selesai dengan diri sendiri.
Menjadi manusia yang sudah selesai dengan diri sendiri artinya urusan uang bukan masalah lagi bagi dia. Bukan semata karena orang ini banyak uang, tapi karena pandangannya akan nilai terhadap uang dan harta benda secara umum sudah berubah. Sudah selesai.
Di sinilah kita ingat betapa Yohanes Pembaptis pernah berkata, “Cukupkanlah dirimu dengan gajimu”, sementara Rasul Paulus terkenal dengan nasihatnya pada sang yunior, Timotius, “Akar segala kejahatan ialah cinta uang.”
Bagi manusia, gaji dan kecukupan hidup adalah hal yang relatif. Dengan segala keajaibannya, seorang guru honorer, pedagang keliling, atau banyak profesi marjinal lain bisa hidup di Jakarta dengan pendapatan tak sampai Rp 1,5 juta per bulan.
Di sisi lain, seorang politisi, pengusaha, maupun mereka yang bekerja sebagai profesional kelas atas dengan isi rekening bertambah lebih dari Rp 50 juta tiap bulan, tetap saja merasa kurang. Persis mengingatkan kita pada ucapan, ”Mengumpulkan harta kekayaan itu seperti meminum air sambil menyelam di lautan. Semakin dalam, semakin haus saja.”
Di sinilah pentingnya memaknai perubahan akan nilai uang yang kita miliki. Uang bukan alat untuk menjadi pengumpul kekayaan, tapi uang adalah saluran berkat dari Tuhan. Ibarat pipa, semakin kita menyalurkan air ke bawah, maka pasokan dari atas pun akan semakin kencang. Tapi, semakin kita menahannya tersebar ke tempat lain, suplai dari tempat tinggi pun berhenti.
Mungkin bagi diri sendiri, aset yang kita miliki masih terhitung kecil bila dibanding yang dipunyai orang lain. Tapi, segala hal yang kita miliki itu akan terasa besar jika melihat betapa baiknya Tuhan atas segala penyertaannya dalam hidup nan kian keras ini.
Lihatlah di Jakarta dan kota-kota besar lain yang ekonominya terguncang hebat akibat pandemi. ‘Manusia silver’ muncul di mana-mana. Tentu saja, Anda tidak mau kan menggantikan mereka? Berdiri mematung di tengah lampu merah dengan risiko sakit kulit akibat pori-pori tertutup cat perak setiap hari.
Sementara itu, peminta-peminta berkostum boneka badut semakin banyak kita jumpai. Malam terlihat begitu menyiksa kala mereka berjalan pulang dengan beban kostum seberat itu, sementara rupiah tak banyak terkumpul.
Apakah mereka melakukan itu karena kebiasaan mendapat uang begitu mudah? Karena mafia sindikasi pengerah pekerja serupa? Atau karena malas mencari uang dalam kondisi bekerja secara normal? Belum tentu juga.
Media online Detikcom, 10 Oktober 2021 membuat sebuah cerita foto essay tentang Pian Hafiz yang telah menjalani profesi jalanan dengan mengenakan topeng dan kostum dinosaurus sejak tahun 2018.
Pria kelahiran 9 Juni 1992 ini memilih bekerja sebagai badut jalanan karena terpaksa dan tidak memiliki pekerjaan lain. Awalnya Pian bekerja sebagai Petugas Penanganan Prasarana dan Sarana Umum (PPSU) di Jakarta Timur. Tetapi, kontraknya tidak diperpanjang
Pian yang hanya lulusan SMP ini terpaksa menjadi badut jalanan karena lamaran pekerjaanya yang selalu ditolak dan membuat dia menjadi pengagguran.
Sebelum menjadi badut, ia melakoni jadi tukang bangunan dan tukang cuci piring untuk menambah biaya membeli kostum dinosaurus seharga Rp. 800.000.
Dalam sehari, saat menjadi badut jalanan, Pian harus berkeliling jalan kaki sejauh 10-15 km. Awalnya dia memakai baju badut, tetapi karena tidak mendapatkan penghasilan yang banyak dari kostum itu, akhirnya dia beralih ke kostum dinosaurus.
Tiap hari, Pian berjalan kaki dari rumahnya di kawasan Pisangan, Jakarta Timur, menyusuri jalan yang memutar agar rutenya lebih jauh guna mendapatkan kesempatan banyak untuk mencari nafkah.
Pian terus giat dan gigih bekerja menyusuri jalanan dengan kostum dinosaurus yang ditemani dengan musik hanya berharap mendapatkan rezeki untuk bertahan hidup dan makan. Dalam sehari dia bisa mendapatkan Rp 100 ribu-Rp 200 ribu.
Dunia dan hidup kian keras, yang terhimpit semakin menjerit. Yang kaya semakin serakah.
Pada saat seperti inilah kita disadarkan: bisakah kita menjadi manusia yang sudah selesai dengan dirinya sendiri?
Mandalika, Lombok Tengah, 15 Oktober 2021
*Agustinus ‘Jojo’ Raharjo, jurnalis senior dan praktisi public relations
(Dimuat di Majalah Gaharu, November 2021)
Foto Luhut Panjaitan: Ilustrasi Detikcom