Dari Bandara Kualanamu, Deli Serdang, menanti pesawat yang hendak menerbangkan ke Cengkareng tertunda tiga jam, tulisan kenangan tentang Nias ini dibuat.
Apa yang baik bagi kita, belum tentu baik bagi Tuhan.
Apa yang buruk bagi kita, belum tentu buruk bagi Tuhan.
Kalimat itu masih terngiang di kepala saya. Padahal mantra itu terdengar di telinga saya pada tahun 1993. Yang mengucapkannya seroang aktivis muda, bernama Idrus Marham. Kelak sejarah mencatat, Idrus jadi Sekjen Partai Golkar melintasi beberapa ketua umum, serta sempat menduduki kursi Menteri Sosial.
Kala itu, kami anak-anak SMA di Surabaya hendak mengikuti program Magang Kreativitas yang digelar Gubernur Jatim Basofi Sudirman. Namun, karena alasan teknis, acara ditunda beberapa pekan. Untuk menutupi kekecewaan anak-anak muda calon peserta magang, maka Idrus tampil ‘berkotbah’ menenangkan kami.
Tapi, benar jugalah apa kata Bang Idrus. Kadang apa yang kita pikir buruk, belum tentu buruk sepenuhnya.
Tak ada orang mau tertimpa bencana. Tak ada pula daerah mau terguncang gempa besar. Tapi, setidaknya saya pernah ke Banda Aceh, Padang dan kini kembali ke Nias. Daerah-daerah itu mengalami perubahan signifikan setelah musibah dahsyat terjadi. NGO internasional datang, rekonstruksi dilakukan secara massif dengan dana negara dan sumber lain, serta isolasi pun terbuka.
“Banyak yang berubah pascagempa. Harus diakui, pembangunan terjadi di mana-mana,” kata Jesto Harefa, sahabat yang menemani kami berkeliling Nias.
Gempa itu sangat besar. Skalanya 8,2 SR pada 28 Maret 2005. Terjadi di perairan antara Pulau Nias, Sumatera Utara dan Pulau Simeuleu, Nanggroe Aceh Darussalam larut malam sekitar pukul 23.09 WIB saat masyarakat tengah beristirahat.
Gempa ini menyebabkan kepanikan luar biasa pada warga di sebagian besar Medan dan Banda Aceh. Terlebih warga Aceh, mereka langsung berhamburan keluar rumah dengan membawa bungkusan seadanya dan langsung menuju tempat tinggi, karena takut tsunami akan kembali terjadi seperti yang mereka alami akhir tahun sebelumnya.
Melansir informasi dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM, gempa ini mengakibatkan lebih dari 1.000 orang meninggal dan 2.391 lainnya luka-luka. Mayoritas korban nyawa dan materi ada di Gunungsitoli, kota terbesar di Nias yang berbatasan dengan perairan antara Nias dan Sibolga, Sumatera Utara.
United States Geological Survey (USGS) mencatat Gempa Nias 2005 ini sebagai gempa terbesar kedelapan di dunia sejak 1900. Gempa itu pula yang kemudian mengantar saya berkunjung ke Nias untuk kali pertama pada Mei 2005, menyertai misi sosial sebuah gereja di Surabaya.
Kamis senja, tujuh belas tahun kemudian, 14 April 2022, saya berdiri di Tugu Gempa Gunungsitoli, memandang nama-nama korban yang diukir dalam prasasti batu itu. Merekalah sejarah, mereka korban, tapi kemudian menjadi lompatan Nias menjadi lebih maju.
Semoga, Nias, dan kota Gunungsitoli yang juga terkenal dengan Tugu Duriannya ini, terus grow up, rising, berkembang, atau apapun namanya. Kebangkitannya pascabencana akan membawa etos kerja besar dan membuat orang makin terkagum.
Saohagolo, Terima kasih, atas pelajarannya, Tano Niha, Bumi Nias nan indah…