Petra, Keajaiban Dunia Kota Terhilang

Hari kedua di Yordania. Mengunjungi destinasi wisata nomor satu. Memutar waktu sejarah ke masa lalu.

Sepanjang hampir empat jam perjalanan bus Mercedez Benz Travego dari Amman menuju Petra, kiri kanan nampak gurun dan rumah-rumah khas Arab yang biasa Anda lihat di buku atau video. Rumah bebatuan dengan sotoh atau teras di lantai atas, beberapa di antaranya berornamen menyerupai benteng.

Kami melintasi King’s Highway atau Jalan Raja Raja, yang disebut di kitab Perjanjian Lama. Tepatnya Kitab Kejadian dan Bilangan. Ini merupakan rute Musa membawa orang Israel berjalan dari Mesir ke Kanaan. Saat itu dikisahkan Nabi Musa harus minta izin ke Raja Edom dan Amori.

Panjang jalan ini 650 km dari Aqaba, Laut Merah hingga Midian, tempat Musa bersembunyi di masa mudanya usai membunuh seorang pria Mesir.

“Jalan ini dipercaya sebagai jalur perdagangan tertua di dunia, yang ada hubungannya dengan Jalur Sutera dan Jalur Kemenian yang digunakan Ratu Syeba atau Ratu Bilqis,” kisah Naim Mohammad bin Abu Eid, tour guide kami.

Di dalam bus, di sela bercerita tentang jalur perdagangan tua dan kota karavan, Naim mengedarkan barazek, kue bunder berbahan wijen dan kacang. Ini cemilan lokal, kue kering khas Yordania. Tak ada di Mesir atau Israel.

“Saya tak jualan, tapi jika berminat saya bisa bantu pesan di Amman. Jangan beli di tempat wisata, karena di sana barangnya sudah agak lama,” kata pria 62 tahun itu. Harganya satu kotak USD 15.

Di tengah perjalanan, kami singgah ke Midway Castle, toko cinderamata yang menawarkan berbagai souvenir seperti hiasan dinding, lampu-lampu, pecah belah, topi, syal dan kafiyeh hingga perhiasan khas Timur Tengah.

Salah satu pegawainya bernama Zulkarnain, mahasiswa asal Medan. Harga barang di sini disamakan baik dalam dolar maupun dinar.

“Saya harus berjibaku untuk memenuhi kebutuhan hidup di sini,” katanya.

Pun di arah pulang keesokan harinya kami singgah di toko souvenir lain, namanya “Pilllars of Jerusalem”. Di sini juga ada karyawan asal Indonesia, namanya Adil, berdarah Bugis.

“Saya kuliah di Mu’tah University. Ambil jurusan Islamic Law. Syariah,” ungkapnya.

Semua bersuka ketika pandemi Covid mereda. Naim bilang, ia baru melayani turis lagi mulai Maret 2022 lalu. Dua tahun tanpa kerja. Perbatasan, tempat wisata, hotel sampai restoran tiarap semua.

“Saya sudah booked tiket untuk berwisata ke Indonesia bersama keluarga besar. Cancelled deh,” kenangnya.

Dari dalam bus, Naim menunjuk ke gurun. “Tak banyak penduduk tinggal di sana. Paling 8 ribu orang. Tapi, di situlah sumber daya alam terbesar bagi Yordania: tambang pupuk fosfat,” ungkapnya.

Naim percaya, Indonesia mengimpor fosfat dari negaranya. Yordan merupakan negara penghasil fosfat terbesar kedua di dunia. Setelah Maroko.

Kami makan siang di Wadi Musa. Wadi artinya lembah. Maklum, kawasan ini dipercaya dilewati Musa kala mengarak orang Israel keluar dari Mesir menuju Kanaan.

Pun kami lewat Pegunungan Seir, daerah tertinggi di Yordania, 1600 di atas permukaan laut. Di sinilah Esau, setelah berpisah dengan Yakub, tinggal dan kemudian mendirikan Kerajaan Edom. Dari sini juga nampak makam Nabi Harun, kakak Musa, di Gunung Hor, dekat Petra. Disebut juga Jabal Harun. Jabal artinya gunung.

Dan akhirnya, kami tiba di Petra. Inilah “jualan utama” turisme Yordania.

Sebagaimana kata Peter, Petrus, maka Petra -versi femininnya- berarti “batu yang kokoh”. Dipilih sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia, batu-batu ini diukir dengan estetika seni tingkat dewa oleh Nabateans, Suku Nabath, yakni pedagang-pedagang Arab yang bermukim di sini dua ribu tahun silam.

Situs ini tidak pernah dikenal oleh dunia Barat hingga 1812, kala pengelana dari Swiss bernama Johann Ludwig Burckhardt menemukannya untuk pertama kalinya.

Badan Kebudayaan PBB UNESCO kemudian menyatakannya sebagai “salah satu peninggalan kultural yang paling penting dalam peradaban manusia”. Majalah Smithsonian memilih Petra sebagai salah satu dari “28 tempat yang harus dikunjungi sebelum meninggal dunia”.

Begitu luasnya destinasi wisata ini, Petra menyediakan tiket untuk 1 hari, 2 hari dan 3 hari. Tentu saja, kami hanya sehari. Tak lebih dari 3 jam. Tiket harian senilai 50 Dinar Jordan.

Dari Petra Visitor Center di pintu masuk menuju spot wisata Petra sepanjang 2 kilometer saja. Bisa ditempuh dengan tiga cara: jalan kaki so pasti gratis, naik mobil golf 40 USD pulang pergi, atau naik kuda 10 USD untuk sekali jalan.

Begitu banyak monumen atau mahakarya instalasi ribuan tahun lalu terbentang di antara bebatuan raksasa itu.

Ada sebuah batu yang kalau dilihat dari satu sisi mirip ikan, tapi jika diperhatikan dari sebelah depan menyerupai gajah. Ada juga obelisk, yakni piramida di atas makam serta patung-patung yang mewakili lima orang yang dimakamkan di sana.

Karya seni terindah disebut ‘Treasury Monument’ atau Al-Khazna. Tinggginya sekitar 150 kaki dan lebar 110 kaki. Lokasi ini jadi latar film ‘Indiana Jones and The Last Crusade (1989). Sebagian meyakini lokasi ini adalah kuburan Raja Nabatean, namun ada juga yang percaya Al-Khazna adalah kuil atau tempat untuk menyimpan barang berharga.

Usai foto-foto di situs utama ini, kami balik kanan kembali sejauh 2 km ke pintu masuk. Ya, kalau mau lanjut sih masih bisa explore. Masih 1 km lagi menuju Kota Petra, yang kini tak berpenghuni dan jadi jujukan arkeolog dunia.

Capek juga jalan di lokasi gunung batu raksasa itu. Maka, saat kembali menuju titik kumpul awal, saya putuskan sewa kuda.

Karena belum sempat belajar menunggang kuda di Hambalang layaknya Gibran ngangsu skill ke Prabowo, maka kuda saya dikendalikan oleh tukang ojeknya. Mereka orang-orang suku Badui atau Bedouin, salah satu suku asli Arab yang mendapat hak eksklusif bisnis pariwisata di area Petra.

Muhammad, nama tukang ojek kuda itu memegang tali kekang sambil berjalan kaki di dekat saya. Kuda jantannya bernama Leon, umur 6 tahun.

Sesekali kendali Leon dilepasnya. Dan tinggallah saya berteriak-teriak, “Leon, be careful, Leoooon…”

Dua tukang ojek kuda, yang satu mengawal Einzel -anak sulung saya- bertanya, dari mana asal kami.

Saat saya jawab, “Indonesia. We are friends,” ia nampak tak terima.

“No. Indonesia and Jordan not friends. We are brothers!” katanya merevisi. Saudara. Lebih dari sekadar teman.

Ia bergirang menjawab saat saya kemudian menyerukan magic words, “Assalamualaikum, brothers….”

Jam 6 sore kami tinggalkan Petra, yang masuk daftar World Heritage UNESCO sejak 1985. Check in di Petra Canyon Hotel, ibadah sejenak lalu makan malam Nasi Mandi khas Arab.

Masuk kamar, istirahat, bersiap menuju itinerary berikutnya: Dead Sea alias Laut Mati.

Salam Malam Minggu, Berkah Raja Raja untuk Anda dari Hotel Dead Sea Spa Resort, Yordania, empat jam lebih lambat dari Jakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published.