Next stop: Dead Sea. Mampir sejenak di Moses Spring.
Sabtu pagi, 25 Juni 2022 kami tinggalkan Petra Canyon Hotel usai sarapan. Berseloroh saya bilang ke anak-anak, “Ini semua makanan yang disantap Tuhan Yesus sehari-hari. Kecuali nasi.”
Mungkin karena tahu kami dari Indonesia, atau mungkin juga sudah jadi menu standar, disediakan nasi di Amneh Restaurant, nama resto di Hotel Petra Canyon.
Tak beda dengan nama restonya, makanannya serasa aneh bagi lidah kita. Kata si bungsu Kira, nasi putihnya kayak nasi mentah. Sementara ada ibu sesama peserta Holy Global Tour mengeluh meatball yang dicomotnya asin banget. Sebenarnya bukan makanannya yang jelek. Beda lidah, beda rasa, beda selera.
“Fettucininya juga asin sekali,” kata Kira, sang penggemar pasta. Anda tahu bedanya spaghetti, fettucini, dan carbonara? Atau jangan-jangan cuma paham perbedaan Indomie, Mie Sedap, Supermi, dan Sarimi? Toss. Sama-sama ‘ndeso’, deh kita…
Pilihan saya di breakfast kemarin sederhana sekali: nasi putih secukupnya, telur rebus yang masih belum dikupas, sedikit kacang panggang, sepotong ikan mirip sarden, dan tiga lembar daging sapi diiris tipis-tipis.
Setelah memastikan enam koper kami masuk perut bus Mercedez Travego, bus berjalan menjauhi hotel.
Hanya sekitar 15 menit perjalanan, kami transit di Mata Air Musa alias Uyun Musa alias Sumur Musa, di daerah Madaba. Mata air ini mengaliri Wadi (Lembah) Musa hingga kampung batu raksasa Petra.
Ada beberapa versi di mana cerita ini sebenarmya terjadi. Kala Musa memukul tongkatnya, atas prentah dan arahan Tuhan, mengubah batu jadi air. Kala itu, dua juta umat Israel yang dipimpinnya keluar dari Mesir mengeluh dehidrasi.
Satu versi, kisah itu berlokasi di Mesir, tepatnya di perbatasan antara Provinsi Suez dan Perbukitan Sinai. Konon, di sana kondisinya kurang terawat. Sementara Pemerintah Yordania menjaga versi satunya dengan lebih baik. Lokasinya di Wadi Musa, tak jauh dari situs wisata Petra.
Bangunan itu mirip mushalla. Ada tulisan bahasa Arab di dinding. Aliran airnya jernih, menggoda kami mencuci muka atau sekadar membasuh tangan. Bahkan, ada batu besar berdiri di samping mata air. Saya turun sebentar membasuh muka. Siapa tahu jadi lebih awet muda. Asal jangan nikah lagi aja.
Tak lama di situ, kami pun masuk bus. Mampir lagi di bangunan tengah gurun yang disebut ‘Istana Salib’
Kami kembali ke ibu kota Amman untuk makan siang. Di resto Tiongkok yang berbeda. Lalu, kembali naik bus menuju Dead Sea. Dapat bonus lagi di luar jadwal: Amman City Tour.
Selama keliling ibu kota, beberapa tempat ditunjuk Naim, guide kami, dari dalam bus. Ada Gedung Parlemen Yordania, Mahkamah Agung, Masjid Grand Husseini, juga Acropolis yakni bangunan tinggi semacam tempat pertunjukan bagi rakyat.
“Nah, kalau itu mirip Pasar Tanah Abang. Semua ada di situ,” kata Naim. Ah, Bapak 62 tahun asli Yordania ini tahu aja.
Tak cukup di situ. Naim menambahkan, “Ada yang mau belanja barang-barang yang baru dicuri? Saya bisa bawa ke sana. Murah-murah.”
Wah, Pasar Maling, dong.
Setelah ditunjukkan letak kota Rabbat Ammon di era Perjanjian Lama, lalu pose di Amman Citadel berlatar apartemen khas Yordania, pertanyaan saya tentang lokasi ikonik Amman bukan itu.
“Sebelah mana rumah Prabowo?” tanya saya ke Naim.
“Rumah Prabowo di bagian barat kota,” jawabnya.
“Is it very big?” tanya saya lagi.
“Ya big, tapi sekarang kosong,” katanya.
Penduduk Yordania sekitar 10 juta. Tapi yang asli hanya 7 juta orang. Tiga juta sisanya berasal dari kaum pengungsi, baik Siria, Yaman, Irak, dan lain lain.
Meski begitu, banyak juga penduduk Yordan yang kerja di gulf, semenanjung teluk, terutama Arab Saudi dan Uni Emirat. Dari Amman ke Jeddah atau Riyadh bisa ditempuh sekitar 20 jam perjalanan darat.
Sekitar jam 3 siang, bus tiba di kawasan Laut Mati. Kami kebagian nginap semalam di Dead Sea Spa Resort, tak jauhlah dari Marriot dan Holiday Inn.
“Namanya Laut Mati. Saya tidak tahu siapa yang membunuhnya,” seloroh Joppy Taroreh, tour leader kami.
Yang benar, lokasi itu diberi nama Laut Mati karena tak ada flora fauna hidup di dalamnya. Pasti mati dikepung air rasa asin seluas itu.
Di masa lalu, ketika Sungai Yordan mengalir ke selatan dari Danau Galilea di musim hujan, alang-alang dan ikan tersapu oleh aliran sungai ke Laut Mati yang airnya sangat asin.
Ikan maupun ganggang tidak dapat bertahan hidup di air yang hampir 10 kali lebih asin daripada kebanyakan samudera. Dengan kata lain, Laut Mati seperti jebakan maut bagi makhluk hidup.
Laut Mati adalah titik terendah di Bumi, sekitar 430,5 meter (1412 kaki) di bawah permukaan laut. Laut Mati merupakan danau hipersalin (sangat asin) yang merupakan salah satu keajaiban alam.
Laut Mati sejatinya danau yang terlihat megah dan misterius dengan air biru cemerlang. Terdapat kristal garam yang menonjol keluar dan bukit-bukit berwarna keemasan di sekitarnya.
Jam 5 sore, diterpa mentari 34 derajat celsius, kami menuju pantai Laut Mati yang ada di area properti belakang hotel. Dimulailah prosesi mengapung di laut dengan kadar garam tertinggi, pada titik terendah di bumi.
Saya yang dasarnya tak bisa berenang, tak perlu khawatir. Jongkok dan mengambanglah menghadap ke atas. Tegas kami diperingatkan untuk tidak menelungkup dan jangan sampai air laut asin masuk ke mata atau mulut. Wis, pokoknya bahaya. Beberapa bule terlihat mengambil lumpur nan kaya mineral dan memoles-moleskannya ke tubuh. Katanya baik bagi kesehatan.
“Jangan lama-lama ya. Maksimal 15 menit. Kalau kelamaan nanti Anda jadi telor asin,” kata Joppy memberi warning. Pemandu wisata kami berusia 70 tahun ini sudah 62 kali pergi ke Israel dan negara-negara sekitarnya!
Kalau Anda belum rezeki ke Laut Mati, jangan sedih. Ada pulau bernama Gili Iyang di Kabupaten Sumenep, Madura, merupakan tempat terbaik merasakan kesegaran udara di Indonesia. Kadar oksigennya 20,9 persen, melebihi daerah lainnya.
Air Visual, sebuah aplikasi pencatat kualitas udara kemudian menempatkan Air Quality Index (AQI) Gili Iyang hanya satu tingkat di bawah kadar oksigen di Laut Mati, Jordania.
Kedua daerah ini kemudian dinobatkan sebagai daerah dengan kadar oksigen terbaik di dunia.
Gili Iyang berada di bagian timur Sumenep yang dikenal dengan nama Pulau Oksigen. Pulau ini masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Dungkek. Karena situasi alam itu, penduduknya bisa hidup sampai usia 90 atau 100 tahun.
Jadi, cobalah jalan-jalan ke Madura. Sambil merapal doa, siapa tahu nanti Tuhan izinkan ke Dead Sea.