Dari Gunung Nebo ke Border Israel: Musa Hanya Menatap Jauh

Nabi Musa memberi kita pelajaran penting: murka seketika menghilangkan “hadiah” besar yang seharusnya kita nikmati.

Usai mengambang barang sekejap di Laut Mati, Sabtu malam kami menikmati dinner terakhir di negeri Yordania.

Menunya ada nasi putih, potatoes au gratin, shakriyeh, vegetables sweet corn, chicken with mushroom sauce, pizza, aneka pasta, ikan-ikanan, dan juga ada booth grill station. Di titik terakhir inilah tergolek sajian istimewa: lamb liver. Bentuknya memanjang serupa sosis so nice.

Sebenarnya seseorang, yang pasti Anda tahu siapa, sudah memperingatkan saya untuk tidak makan terlalu banyak. Tapi, saya penasaran juga gimana rasanya hati kambing. Sampai tiga kali hilir-mudik mengambilnya.

Petugas grill station Dead Sea Resort ramah melayani, apalagi saat bertanya, “Where are you from?” Dan saya jawab penuh semangat, “Indonesia. Assalamualaikum…” Dapat ati kambing lagi deh.

Rasanya? Pait-pait prengus.

Minggu pagi kami berangkat dari Laut Mati jam 7. Mengejar Misa di Gunung Nebo, sekitar 30 menit dari Dead Sea Resort. Lokasi suci “Memorial of Moses” ini dikelola oleh Ordo Fransiscan.

Anda ingat tempat ini? Kitab Ulangan mencatat,

“Kemudian Musa meninggalkan dataran Moab lalu mendaki Gunung Nebo, ke puncak Gunung Pisga di sebelah timur kota Yerikho. Di sana TUHAN menunjukkan seluruh tanah itu kepadanya: wilayah Gilead sampai kota Dan di utara; seluruh wilayah Naftali; wilayah Efraim dan Manasye; wilayah Yehuda di sebelah barat sampai ke Laut Tengah; bahagian selatan Yehuda; dan dataran dari Zoar sampai ke Yerikho, kota pokok kurma.

Kemudian TUHAN berfirman kepada Musa, “Itulah tanah yang Aku janjikan kepada Abraham, Ishak, dan Yakub, untuk diberikan kepada keturunan mereka. Aku membenarkan engkau memandangnya tetapi Aku tidak membenarkan engkau pergi ke sana.”

Kemudian Musa, hamba TUHAN itu, meninggal di tanah Moab, sebagaimana yang sudah difirmankan TUHAN. TUHAN mengebumikan dia di suatu lembah di Moab, yang bertentangan dengan kota Bet-Peor. Tetapi sampai hari ini tidak seorang pun tahu tempat kubur itu.”

Akibat esmosi melihat kelakuan 2 juta orang Israel saat hijrah dari Mesir ke Tanah Perjanjian, Musa bahkan tak bisa menginjak lahan yang diperjuangkan lewat perjalanan 40 tahun itu.

“Oleh sebab kamu telah berubah setia terhadap Aku di tengah-tengah orang Israel, dekat mata air Meriba di Kadesh di padang gurun Zin, dan oleh sebab kamu tidak menghormati kekudusan-Ku di tengah-tengah orang Israel.

Engkau boleh melihat negeri itu terbentang di depanmu, tetapi tidak boleh masuk ke sana, ke negeri yang Kuberikan kepada orang Israel.”

Kami, para peziarah asal Indonesia, bermisa pagi dipimpin Romo Alfian Windi dan Romo Hendro. Setelahnya, berpose sejenak di tugu Ular Tembaga, kisah ketika umat Israel digigit ular mematikan akibat memberontak pada Tuhan.

Mereka mohon ampun. Musa diminta Tuhan membuat Tiang Ular Tembaga dan barangsiapa melihatnya akan sembuh dari racun ular berbisa. Belakangan kita paham, tugu laksana salib itu melambangkan penebusan Kristus.

Di Dataran Tinggi Nebo, saya melihat Israel di titik terjauh. Saya berharap, bisa sedikit meredakan emosi jiwa saya.

Pesan moralnya: Semoga impian kita terwujud, dan tak hanya melihatnya dari jauh, lalu anak-anak kitalah yang akan merasakan visi itu. Emosi sesaat berbuah hilangnya upah yang besar.

Syukurlah, impian melewati border Israel terpenuhi. Meski, ampyun, ribetnya minta ngampun.

Minggu siang itu, Bus Mercedez Travego yang menemani kami di Yordania sejak Kamis Malam, mengakhiri tugasnya. Melintasi Jembatan Besi King Hussein, kami masuk lewat border Allenby.

Nama perbatasan Allenby diambil dari nama Jenderal Inggris yang membangun jembatan lintas negara antara Yordania dan Tepi Barat itu. Edmund Henry Gynman Allenby menjadi tentara Inggris hingga memegang jabatan Gubernur Imperial pada era Perang Dunia Pertama.

Memimpin pasukan Egyptian Expeditionary Force (EEF), Allenby menaklukkan Palestina yang dikuasai Kerajaan Ottoman, Turki. Selanjutnya, ia mengambil alih Beersheba, Jaffa, dan Yeruselam, dari Oktober hingga Desember 1917.

Dari Yordania ke Israel ada tiga perbatasan darat, yakni Terminal Yitzhak Rabin/Perbatasan Wadi Arabia, King Hussein Bridge (Allenby) dan Sungai Yordan atau Perlintasan Sheikh Hussein.

Saat mendengar saya mau ke Israel, seorang sahabat berkata, “Cerita masuk Israel dan nggak dicap itu selalu seru buat diceritakan.”

Memang di paspor tak ada stempel visa Israel. Tapi di Imigrasi Allenby kami dapat semacam struk kecil, dengan foto wajah, lengkap tertera masa berlaku di ‘Negeri Bintang Daud’ itu hingga 2 Juli 2022.

Wajah para petugas cukup garang, nyaris tak ada senyum saat memasukkan koper kami ke ban berjalan tempat detektor barang. Pun saat mau masuk pintu imigrasi, ada aja wajah-wajah emak-emak lokal menyerobot tak mau antre.

Syukurlah, tak ada masalah. Sekitar jam 13 kami keluar dari Gedung Imigrasi Allenby. Seorang guide lokal sudah menanti. Namanya Jerries Farah. Laki-laki antropolog dan juga pakar Kitab Suci. Bahasa Indonesia josss bener.

“Silakan, tunggu di sini. Busnya yang akan datang ke mari,” teriaknya.

Begitu masuk bus Mercedez-Benz Irizar i6, Jerries ngoceh lagi. Menghibur kami yang siang-siang kepanasan, kelaperan, ditambah penat bercampur suntuk ngurusin barang bawaan dan izin masuk.

“Masuk ke Israel sulit sekali ya? Anda mengalami seperti suku-suku Israel. Tapi, bagaimanapun masih lebih baik. Mereka perlu waktu 40 tahun, Anda hanya butuh dua jam,” selorohnya.

Hahahaha, sa ae neh, bapak guide akamsi Israel….

Bus berjalan meninggalkan perbatasan. Kiri kanan banyak pohon cemara, kurma, palem, zaitun, juga anggur yang ditutup semacam jaring. Kering, tapi katanya subur banget. Meski begitu, panasnya jauh lebih bersahabat daripada Yordania. Apalagi Dubai, hehehe…

“Anda lihat kalau ada pohon zaitun berarti itu milik pribadi. Tapi kalau pohon cemara, itu milik pemerintah. Dikelola lembaga namanya Keren Kayemet,” kata Jerries.

Keren Kayemet LeYisrael Jewish National Fund (KKL-JNF) adalah sebuah organisasi yang bertanggung-jawab dalam upaya menghutankan padang gurun di Israel. Lembaga ini membangun bendungan, membuat jalan yang melewati hutan, serta melakukan studi-studi yang berorientasi pada pertanian dan permakultur.

Orang-orang yang bekerja di KKL-JNF adalah para ahli dari berbagai disiplin ilmu, mulai dari keuangan, pengairan, pertanian, konstruksi, kimia, dan lain-lain. Organisasi ini juga bekerja-sama dengan berbagai lembaga riset di Eropa dan Amerika Serikat.

Nampak Sungai Yordan di kanan bus, Jerries bercerita tentang muiizat saat Yosua memimpin bangsa Israel masuk Tanah Perjanjian.

Sungai Yordan terkenal punya aliran air sangat deras. Tapi begitu Tabut Perjanjian di barisan terdepqn Israel menyentuh air, arus kencang berhenti. Demikian terjadi sampai dua juta orang menyeberang Yordan.

“Musa melakukan mujizat membelah Laut Merah. Yosua, penerusnya, menyeberangkan umat Israel lewat Sungai Yordan,” jelasnya.

Sungai Yordan di Tepi Barat masuk wilayah Daerah Otoritas Palestina. Kita tahu, Israel merdeka dari jajahan Inggris pada 1948.

“Hingga 1967, kawasan ini dijajah Yordania. Lalu Israel dapat Tepi Barat setelah memenangkan Perang Enam Hari melawan Mesir, Yordania, dan Suriah. Pada 1993, pelan-pelan Israel mundur dari Tepi Barat,” urainya.

Melewati Gilgal dan Ai yang disebut dalam Kitab Yosua, tempat suku Israel mengumpulkan 12 batu dari Yordan usai menang perang masuk ‘Land of Promise’. Juga Beit She’an tempat tewasnya Saul dan tiga puteranya. Tetiba kami berhenti di sebuah pos.

Rupanya, kami hendak melintasi batas akhir Tepi Barat Palestina.

Jerries menenangkan kami. “Nanti tenang saja kalau ada dua tentara Palestina masuk bus. Atau mengecek random barang bawaan,” jelasnya.

Pikiran saya melayang saat awal 2005, sebagai jurnalis Tempo, pulang liputan tsunami dari Aceh. Sulit mencari penerbangan dari Bandara Sultan Iskandar Muda, saya memutuskan naik bus dari Banda Aceh ke Medan.

Tengah malam, ada dua TNI masuk bus, mengecek KTP penumpang. Saat itu ada istilah ‘KTP Merah Putih’ bagi warga Aceh.

Ah, ternyata kami beruntung. Tak ada tentara Palestina sampai masuk bus. Rombongan melaju lancar lewati check point.

“Selamat datang di Israel. Ini baru benar-benar resmi Israel,” sambut Jerries.

Penduduk Israel sekitar 10 juta. Mayoritas, 8 juta, orang Yahudi dan dua juta sisanya Arab. Karena itu, di setiap penunjuk jalan ada tiga bahasa.

“Paling atas Bahasa Ibrani, lalu Arab baru Bahasa Inggris,” kata Jeries.

Jerries juga sempat tunjukkan saat bus melewati perkampungan Arab.

“Di sana itu perkampungan Arab. Warga Negara Israel. Penduduknya ada yang Arab Islam, ada pula Arab Kristen. Dan mereka sangat rukun. Sebagaimana juga toleransi di wilayah-wilayah Israel lainnya,” urai Jerris.

Nah lho, nah lho…

Salam rukun dan toleransi Selasa subuh 28 Juni pagi dari Saint Joseph Hotel di Betlehem. Kota kelahiran Yesus yang masuk Daerah Otoritas Palestina.

Leave a Reply

Your email address will not be published.