Di Mesir, kami menginap di tiga kota. Setelah Taba dan sebelum Kairo, nikmati dulu Sharm El Sheikh. Masih Mesir wilayah Asia.
Perjalanan hampir lima jam. Dari Taba, kota pertama di Mesir setelah perbatasan dengan Israel, menuju Gunung Sinai sekitar dua jam setengah. Itu pun sudah transit makan siang di rumah makan Korea di Nuweiba.
Makan siang yang dipercepat. Jam 11 siang. Karena setelah itu tak jumpa lagi restoran yang layak di sepanjang Gurun Sinai. Jangan samakan dengan Indonesia yang kiri kanan mudah temui Pecel Lele Lamongan atau Soto Madura. Dari Aceh sampai Manokwari saya bisa menemui dua spanduk warung makan itu.
Melaju meninggalkan Sinai, kami melewati kota kecil: Dahab. Ini juga kota wisata, terkenal karena lokasi surfing dan snorkelingnya, Kota turis ini pada 2006 lalu viral karena jadi korban serangan bom yang menewaskan 23 orang dan 70 orang lain terluka.
Sepanjang perjalanan Bus Mercedes Benz MCV, kami berkali-kali melewati check point pemeriksaan tentara Mesir di kawasan padang gurun Semenanjung Sinai. Hanya sebentar berhenti, lalu jalan lagi. Ada tentara nampak memakai kaos bertulis ‘International Counter Terorism’. Lainnya bersenjata laras panjang di depan pos yang dilengkapi televisi.
Akhirnya sore hari, kami tiba di Sharm El Sheikh. Hotel dan bangunan megah menyambut. Mereka bersiap pulih menyambut wisatawan musim panas dari Eropa setelah dua tahun tersandera pandemi. Suhu udara bulan Juli di Sharm berkisar antara 32-26 derajat Celsius.
“Sharm artinya lubang. Sheikh maknanya orang tua. Sharm El Sheikh artinya kota raja-raja. Disebut juga sebagai kota damai, karena banyak perjanjian damai ditandatangani di sini,” kata Atef Nafea, pandu wisata kami.
Atef menyebut Sharm sebagai ‘Bali-nya Mesir’. Banyak wisatawan datang dari Italia dan Rusia. Tentu saja sebelum konflik Rusia dan Ukraina. Ini menjawab pertanyaan saya mengapa di Sharm dan Taba, dua kota yang sama-sama ada di tepi Laut Merah, punya banyak kanal televisi asal Italia dan Rusia di kamar hotel. Dari Afrika, turis datang dari Maroko dan Aljazair.
Kami menginap di Hotel Sheraton, Sharm. Namun, sama dengan hotel sebelumnya, di sini pelit wifi. Untuk dapat jaringan internet gratis, perlu duduk di lobby. Mau akses di kamar? Ada biaya tambahan. Mau main biliar, bayar 5 dolar. Mau main ping-pong, setor 6 dolar ke resepsionis.
“Awal-awal jadi guide, saya hanya menjumpai empat hotel di kota ini. Sekarang ada 400 hotel,” kata Atef menggambarkan kemajuan industri pariwisata Sharm El Sheikh.
Namun, beda dengan Bali, menurut Atef di Sharm nyaris tak ada penduduk asli. “Para pekerja datang dari kota lain,” ungkapnya.
Atef menjadi pemandu wisata sejak 24 tahun lalu. Sebelumnya, ia banyak melayani wisatawan asal Italia. Baru sejak 2014 mengambil spesifikasi guide turis asal Indonesia. Ia belajar Bahasa Indonesia di Pusat Kebudayaan Indonesia KBRI Kairo.
Tak terasa, lima tahun ia menemani tamu dari Indonesia. Lho, kok lima tahun?
“Kan dua tahun kemarin terhenti karena pandemi,” jawabnya.
Sharm El Sheikh, kota berjarak 500 kilometer dari Kairo ini menjadi saksi perjuangan Mesir dalam melawan Israel. Kota itu merupakan tempat bagi pintu masuk di Teluk Aqaba, sebuah teluk yang menjadi akses laut utama menuju Yordania dan Israel.
Setelah Perang 1948, senjata Mesir dipasang di daerah tersebut untuk mencegah pengiriman mencapai Elat, satu-satunya pelabuhan Israel di Teluk Aqaba. Israel berhasil merebut tempat persenjataan Mesir di Sharm el-Sheikh dan teluk itu kemudian dijaga oleh Pasukan Darurat PBB pada 1957 hingga 1967. Penarikan pasukan PBB oleh Mesir dan penutupan selat itu pada Mei 1967 membantu mempercepat Perang Enam Hari pada Juni 1967.
Kompas.com menulis, Setelah perang itu, Israel kembali menduduki Sharm el-Sheikh sampai pasukan Israel menarik diri dari Semenanjung Sinai pada awal 1980-an dalam pemenuhan perjanjian damai Camp David yang dinegosiasikan dengan Mesir.
Pengembangan kawasan ini sebagai tempat rekreasi dan wisata dimulai di bawah pemerintahan Israel dan dilanjutkan oleh pemerintah Mesir. Saat ini, Sharm el-Sheikh terkenal dengan kota yang memiliki resor mewah, restoran, dan klub malam berjajar di pantai. Airnya yang jernih dan terumbu karang yang luas telah menjadikan Sharm el-Sheikh sebagai situs populer untuk snorkeling dan scuba diving.
Lokasinya yang dekat dengan beberapa negara Timur Tengah dan akomodasi mewahnya, telah menjadikan Sharm el-Sheikh sebagai lokasi yang menarik untuk sejumlah konferensi perdamaian internasional. Tak heran, kota itu mendapat pengakuan khusus dari UNESCO sebagai kota perdamaian pada 2006.
Saat gelombang revolusi menjalar ke Mesir pada 2011, para demonstran memadati Tahrir Square, Kairo, untuk menuntut pengunduran diri Presiden Hosni Mubarak yang telah berkuasa selama 30 tahun. Usai digulingkan, Hosni Mubarak dilaporkan lari dari Kairo dan bersembunyi di Sharm el-Sheikh.
Mubarak dikirim ke rumah sakit Sharm El-Sheikh pada Selasa setelah menderita masalah jantung, ketika sedang diinterogasi oleh jaksa. Jaksa Agung Mesir Abdel-Meguid Mahmoud pada Rabu memerintahkan penahanan 15 hari terhadap Mubarak dengan tuduhan termasuk perintah pembunuhan demonstran, penggelapan dana publik dan penyalahgunaan kekuasaan.
“Itu rumah sakit tempat Mubarak dirawat di sini. Ia memilih beristirahat di kota yang dibangunnya,” kata Atef menunjuk bangunan rumah sakit yang kami lewati.
Muhammad Hosni Said Mubarak, menjadi Presiden Mesir yang memerintah 30 tahun dari 1981 hingga 2011. Sebelumnya, ia menjabat Wapres dan Perdana Menteri. Sampai kemudian Ia mengundurkan diri pada 11 Februari 2011 menyusul demonstrasi besar-besaran selaam 18 hari.
Setelah lengser, Mubarak harus menghadiri pemeriksaan dan pengadilan beberapa kali tuduhan. Selain korupsi, Hosni Mubarak bersalah atas kematian 900 pengunjuk rasa. Pengunjuk rasa dibunuh angkatan bersenjata pada aksi Arab Spring pada 2011.
Pengacara Mubarak sempat mengatakan kliennya mengalami kanker perut dan gangguan fungsi tubuh lainnya. Namun tidak pernah ada keterangan resmi terkait kondisi Mubarak yang sesungguhnya. Mubarak tidak menggunakan kesempatan membela diri hingga saat terakhir sebelum dijatuhi hukuman.
Pada 2 Juni 2012, ia divonis pengadilan dengan hukuman penjara seumur hidup. Hukuman dan tuduhan itu dibatalkan hingga Hosni Mubarak bebas pada 2017.
Hosni Mubarak meninggal dunia pada 20 Februari 2020, pada usia 91 tahun.
Di Sharm El Sheik pula kami menikmati makan nasi ayam dan burger di Hard Rock Café. Hebat juga ya, Hard Rock memilih kota ini sebagai salah satu dari 200 cabangnya di 68 negara di dunia. Kami melihat outfit milik Rod Stewart, Elvis Presley, dan lain-lain.
Di Mesir, Hard Rock Cafe juga ada di sesama kota wisata bahari, Hurghada. Selain di ibu kota Kairo. Sementara di belahan lain Afrika, kafe musik legendaris ini terdapat di Lagos Nigeria, serta dua kota di Afrika Selatan: Johannesburg dan Cape Town.
Tak lupa, kami berziarah dan beribadat misa di gereja ‘Madonna Della Pace’. Lokasinya di depan El Sherouk Center, apartemen mewah di tengah kota Sharm. Pastor gereja ini dari Italia.
“Memang, Gereja Maria Ratu Damai ini dibuat oleh orang Italia, dan utamanya untuk turis asal Italia,” kata Atef.
Acara berikutnya, kami mengeksplorasi Laut Merah bersama kapal ‘Star Glass Boat’ dari dermaga Naama Bay. Anak-anak dan emak-emak bersorak menyaksikan warna-warni imut ikan, terumbu karang dan pemandangan bawah laut laksana di Bunaken atau Kepulauan Seribu.
Dua hari semalam di Sharm El Sheikh, kami bergegas menuju bandara kota ini. Bersiap terbang ke Kairo, ibu kota Mesir, yang benar-benar ada di Afrika.