Kairo, Dua Sisi Ibu Kota Afrika

Weekend pertama di bulan Juli, akhirnya menjejakkan kaki di Kairo. The real Egypt di belahan Afrika.

Setelah dua malam di Mesir cabang Asia, semalam di Taba dan semalam lagi di Sharm El Sheikh, akhirnya, Sabtu, 2 Juli 2022, kami menginjakkan kaki di Kairo.

Kami terbang dengan Nile Air, maskapai swasta Mesir yang dengan bangga mengusung nama sungai kebangaan mereka. Penerbangan hanya sejam, menggunakan Airbus A 321-200. Delaynya hampir sejam juga.

Sementara kami para penumpang terbang, bus Mercedez Benz MCV kami jalan darat dari Sharm ke Kairo. Mengangkut koper-koper besar sehingga kami tak perlu direpotkan urusan bagasi di kedua bandara. Jaraknya hampir 500 kilometer, ditempuh dalam 8 hingga 9 jam.

“Bus itu melintas dari Asia ke Afrika lewat terowongan di bawah Terusan Suez sepanjang dua kilometer,” kata Atef Nafea, guide asal Mesir.

Bandara Sharm El Sheikh tak terlalu besar. Ini bandara tersibuk ketiga di Mesir setelah Kairo dan Hurghada. Melayani berbagai rute domestik dan mancanegara, seperti ke Italia, Turki, Yordan, Saudi Arabia, Armenia, Uzbek, Austria, Belgia, sampai London.

Susah payah mencari masker di koper sebelum masuk bandara berkode SSH ini, ternyata saya dapat konfirmasi dari petugas airport bahwa di sini aman.

“No mask,” katanya.

Namun, ketat juga pemeriksaan di bandara ini. Sepatu harus dilepas. Mengingatkan saya pada check mau masuk boarding room di Bandara Detroit dan Portland, Amerika Serikat.

Akhirnya, Sabtu sore itu kami mendarat di Cairo International Airport.

Salah satu bandara tersibuk di Afrika ini terletak di kawasan bisnis yang disebut Heliopolis, mengambil nama dari kota tua di Mesir.

“Tuh lihat, foto-foto Bapak Atef tersenyum menyambut kita,” kata Atef berkelakar dalam bahasa Indonesia amat lancar.

Yang dia tunjuk adalah gambar Presiden Mesir yang terpampang di jalan-jalan utama. Abdul Fattah Said Hussein Khalil as-Sisi, menjadi Presiden Mesir sejak 8 Juni 2014. Ia sebelumnya menjabat Panglima Angkatan Bersenjata serta Menteri Pertahanan Mesir.

‘Bulan madu’ Mesir nan makmur kami lihat sebentar sekeluar dari Bandara Kairo. Tak lama kemudian, masuk kota, kami melewati kota yang sekilas nampak berantakan. Banyak bangunan dibiarkan tidak jadi. Konon, kalau rumah-rumah berbentuk ala rusun itu kelar, maka akan kena pajak pemerintah. Warga tak kalah pintar. Bangunannya tak dibikin selesai. Hehehhee..

“Rumah-rumah sengaja dicat krem kecokelatan, agar awet kalau ada badai menerpa,” kata Atef. Total penduduk Kairo sekitar 9,5 juta jiwa. Kairo menjadi salah satu kota terbesar di Afrika, selain Lagos, Nigeria.

Selain itu, ada sekitar sejuta tiga ratus ribu penduduk Mesir tinggal di kuburan.

Itulah el-Arafa. Membentang bermil-mil di tepi Kairo, ‘the City of the Dead’ atau Kota Mati, adalah sebuah pemakaman kuno yang berubah menjadi lingkungan tempat tinggal.

Sejak abad ke-17, jenis makam di el-Arafa bukanlah pemakaman dengan peti meti. Makamnya sendiri hanyalah ‘sisipan’ di sebuah ruangan yang terlihat seperti rumah, lengkap dengan taman di dalamnya. Komunitas yang tinggal di sana kini menerima aliran listrik, air, bahkan puskesmas, dan kantor pos.

Di mana-mana terlihat pengendara motor. Khas pemandangan negara berkembang. Eh, mayoritas dari mereka tak pakai helm. Syukurlah, di tengah capek, karena penerbangan ‘antar benua’, setelah makan sore di restoran Tiongkok yang bisa melihat piramida dari jauh, kami segera check in.

Hotel Hyatt Regency, Kairo, yang jadi peristirahatan selama dua malam ini terletak di New Giza, Kairo Barat. Ini kawasan bisnis elit. Beda jauh dengan sebagian besar pemandangan ibu kota yang kami saksikan di kiri kanan bus tadi.

Syukuri dulu perjalanan panjang ini. Ketika tulang sudah serasa remuk hampir dua pekan pindah-pindah kota.

Ahlan Wa Sahlan, Mesir Afrika, kulo nuwun, kami datang…

Leave a Reply

Your email address will not be published.