Katanya Sih, Welcome Home To Your Second Country…

Rasanya, ini hotel terbaik dari dua pekan perjalanan ini. Tapi…

Hotel Hyatt Regency di New Giza, West Cairo, menjadi penginapan terakhir dalam peziarahan dua pekan di lima negara. Lumayanlah, bisa dua malam di sini. Tak harus tergesa berkemas seperti di banyak hotel sebelumnya.

Hotel bintang lima ini rasanya juga jadi hotel terbaik kami. Mengapa? Selain fasilitasnya, juga karena dibanding dua hotel lain yang kami tiduri di Mesir, Taba dan Sharm El Sheik, di sana tak pelit akses wifi. Di dua hotel tepi Laut Merah itu, kami harus bayar lagi jika mau beroleh internet di kamar. Selain itu, silakan berhotspot di lobby.

Segala capek setelah terbang yang sempat delay dari Sharm El Sheik, juga melihat pemandangan tengah kota Kairo yang ampun deh… sirna setelah masuk lobby hotel ini. Selain mendapat minuman selamat datang, para pelayannya menyambut hangat dengan sapaan, “Welcome home… Welcome to your second country.”

Namun, sapaan selamat datang di rumah kedua itu terasa sirna saat melihat peta dunia di lobby hotel. Tak ada nama Indonesia di bentangan negara-negara itu. Bahkan, gugusan pulau nusantara pun disebut Malaysia.

Padahal, Anda tahu kan… Mesir adalah negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Istilahnya: paling pertama. Tepatnya pada 22 Maret 1946.

Dukungan Mesir dalam mengakui kemerdekaan Republik Indonesia juga disampaikan ketika Konsul Jenderal Mesir, Muhammad Abdul Mu’im, datang ke Yogyakarta pada 13-16 Maret 1947. Tujuan kedatangannya adalah menyampaikan pesan dari Liga Arab yang mendukung kemerdekaan Indonesia. Liga Arab merupakan organisasi yang terdiri dari negara-negara Arab.


Peran Mesir sebagai negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia ini sangat besar, karena diikuti deretan negara Timur Tengah lainnya seperti Suriah, Qatar, Irak, dan Arab Saudi dalam memberi dukungan atau pengakuan.

Alasan Liga Arab memberi dukungan adalah ikatan keagamaan, persaudaraan, dan kekeluargaan.
 

Berkenalan dengan Papirus

Hari selanjutnya, kami dibawa ke toko papirus. Papirus atau Papyrus, nama ilmiahnya cyperus papyrus. Di Indonesia mengenalnya sebagai pohon lontar. Ini adalah jenis tanaman air yang dikenal sebagai bahan untuk membuat kertas pada zaman kuno.

Tanaman ini umumnya dijumpai di tepi dan lembah Sungai Nil. Kira-kira 3.500 SM, bangsa Mesir Kuno sudah memanfaatkan papirus. Mereka pada saat itu membuat kertas dari kulit-kulit tipis atau kulit-kulit halus papirus, sebelum kertas seperti yang kita kenal sekarang ditemukan.

Bahkan disebutkan, saat Bangsa Israel keluar dari Mesir, mereka mengenakan sepatu, tas, dan baju berbahan papirus.

Secara fisik, daun pohon ini mirip rambut terjurai. Tangkainya tumbuh setinggi 3-5 meter, hadir wujud segitiga secara bersilangan. Di sekeliling landasan tangkai tersebut tumbuh dedaunan berserabut pendek.

“Papirus ini khas negeri ini. Yang asli bisa dicuci. Water proof. Kalau yang palsu, itu berarti dari kulit pisang,” kata Atef Nafea, guide lokal kami.

Ia pun menegaskan, bahwa orang Mesir menganggap papirus sebagai tanaman suci. Tak lain karena ujung tangkainya berbentuk segitiga.

“Dianggap menyerupai piramid,” terang Atef.

Watak pohon papirus sangat halus, tanpa bonggol-bonggol dan duri-duri yang menuju pada kumpulan bunga mulia, nyaman, dan hadir wujud rumbai. Konon karena perubahan geografis di kawasan sungai Nil dan mengembangnya pemakaian kulit binatang sebagai media untuk menulis, papirus di Mesir tidak lagi mengembang biak dengan suburnya. Penanaman menjadi sukar dan populasi papirus menurun dengan drastis.

Dari kunjungan ini kembali kami diajar, betapa bangsa ini mengoptimalkan semua potensi yang dimiliki untuk diperkenalkan kepada tamu. Ujung-ujungnya, tentu membuka lapangan kerja. Saling membutuhkan. Turis butuh kenangan, orang Mesir perlu Egyptian Pound. Oh ya, satu Pound Mesir hampir mencapai 800 rupiah.

Leave a Reply

Your email address will not be published.