Berkunjung ke rumah Jeffray Edward di Sintang. Tokoh masyarakat dengan begitu banyak jabatan dan kegiatan.
Pertama kali bertemu dengannya akhir tahun lalu di Pontianak, Kalimantan Barat. Saat itu, sebagai salah satu Ketua Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (DPP GAMKI) melantik Pengurus Dewan Pimpinan Daerah GAMKI Kalimantan Barat. Jeffray Edward jadi ketuanya. Meski mengepalai DPD GAMKI Kalbar, ia berasal dari Sintang, sebuah kabupaten berjarak 7 jam perjalanan darat dari ibu kota provinsi.
Usianya masih muda. 40-an tahunlah. Tapi sudah punya beragam atribusi. Saat ini menjabat Wakil Ketua DPRD Sintang. Di periode sebelumnya, malah jadi Ketua DPRD 2014-2019. Selain itu, Jeffray juga Ketua DPC PDI Perjuangan di kabupaten berjuluk ‘Bumi Senentang’ itu.
“Kami sedang membangun kantor DPC. Sebelumnya kan nyewa,” katanya menunjukkan foto-foto pembangunan yang dimaksud di gawainya. Malam itu, kami meriung bersama kawan-kawan GAMKI Sintang di Weng Coffee. Seperti kawasan Melayu -dan Indonesia secara umum- budaya ngopi menjadi tradisi meriung. Bertebaran warung hingga kafe kopi di penjuru Sintang yang buka hingga tengah malam.
Selain aktif di dewan, partai, organisasi kepemudaan dan kegerejaan, ayah empat anak ini juga Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Sintang. Beberapa kali ia mengirim foto tengah melantik pengurus DAD di berbagai kecamatan. Dari Temenggung di Kecamatan Sei Tebelian hingga Ketungau Hilir. Selain Ketungau Hilir, di Kabupaten Sintang ada pula Kecamatan Ketungau Hulu yang berbatasan dengan Malaysia Timur.
Setelah ngopi malam di kawasan Baning, kemarin akhirnya jadi juga main ke rumah Bung Jeffray. Ruang tamunya sarat aksesori. Ada gambar diri Soekarno. Juga foto dengan Presiden Jokowi.
Pun ada kenangan saat perjuangan membebaskan enam peladang yang divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Sintang, pada 9 Maret 2020. Mereka dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pembakaran lahan.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum menuntut 6 bulan penjara ditambah hukuman percobaan satu tahun. Tuntutan itu dinilai memberatkan.
“Mereka hanya memenuhi kebutuhan hidup, bukan mencari kaya. Hidupnya memang nomaden, ada kearifan lokal di situ. Para peladang ini tahu bagaimana memadamkan api sesuai arah angin bertiup,” kata Jeffray.
“Jika putusan ini salah, akan banyak pemidanaan terhadap peladang, khususnya Suku Dayak,” ungkap Andel, kuasa hukum terdakwa saat itu.
Di rumah itu ada pula Mandau, senjata khas Suku Dayak. Baik ukuran asli, maupun ukuran raksasa yang membuat saya tertarik pose di depannya. Ditata bersama sumpit, juga salah satu andalan orang Dayak untuk membunuh binatang maupun guna berperang.
Juli lalu, di acara pesta tahunan Gawai Dayak, berbagai lomba dilakukan. Termasuk di antaranya lomba adu meniup sumpit.
“Zaman dulu, batu di dalam sumpit itu diisi ramuan racun dan semacamnya. Kalau kena sasaran, bisa langsung mati,” kisahnya.
Gawai Dayak adalah festival tahunan. Baik di kampung, maupun di ibu kota kabupaten. Tahun ini meriah sekali setelah sempat terpendam karena pandemi. Ada juga Lomba ‘Bujang Dara’ alias abang none ala Sintang.
Mengenang keramaian event itu, Jeffray menunjukkan foto dirinya dikelilingi Pasukan Merah Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR), pasukan perangnya orang Dayak. Meraka dipimpin Panglima Jilah atau Pangalangok Jilah dari suku Dayak Kanayatn yang konon juga memiliki ilmu kebal.
Usai berbincang tentang keseharian, termasuk mengenai manfaat Kartu Prakerja bagi warga adat, kami tak bisa lama bersua.
“Saya harus ke Desa Binjai, melihat lokasi rumah warga dan gereja. Ada yang rusak kena angin kencang puting beliung semalam,” ungkap pria berpenampilan kalem ini.
Selamat terus berkarya dan menginspirasi sesama, Bung Jeffray!