Malam di Jayapura, bertemu seorang wartawan kum aktivis lingkungan.
Namanya Abdel Gamel Naser. Sehari-sehari sebagai anggota redaksi Cenderawasih Pos, koran terbesar di Papua. Grup Jawa Pos. Namun, selain sebagai jurnalis, Gamel juga dikenal sebagai aktivis lingkungan.
Meliuk-liuk mencari rumahnya bersama sahabat saya, Eveerth Joumilena, akhirnya ketemu juga. Masuk lorong kecil, ternyata bak pandora, terbukalah lokasi itu. Di tepi Pantai Hamidi, tak jauh dari Teluk Youtefa, tempat Jembatan Merah Jokowi nan keren itu. Jembatan yang menghubungkan Holtekamp dengan Hamadi, sepanjang 732 meter dengan lebar 21 meter dan memperpendek jarak ibu kota Jayapura dengan Skouw, perbatasan kea rah Papua Nugini.
“Selamat datang. Inilah tempat ngumpulnya teman-teman pencinta lingkungan, pendukung konservasi Papua,” kata Gamel, ayah seorang puteri itu.
Ada spanduk berisi nama dan logo organisasi di situ. Lebih dari 20 komunitas menempelkan ikon organisasinya. Di situ ada kafe juga, kedai kopi mini. Diiringi ajakan Street Feeding: ‘Donasi untuk Kucing Jalanan’. Ada pula penghargaan dari Plt Wali Kota Jayapura Frans Pekey pada ‘Rumah Bakau’ yang dianggap aktif mengabdi dalam kegiatan penyelamatan lingkungan.
Selain itu, pada 2 Maret 2018 dan 2019 Rumah Bakau mendapat Kapolda Award sebagai komunitas peduli lingkungan. Diserahkan oleh Kapolda saat itu, ‘Kaka Besar’ Irjen Paulus Waterpauw.
Yes, di bawah tempat saya duduk, rumah kayu itu, memang bakau. Langsung menuju pantai yang berhadapan dengan Samudera Pasifik.
Ada juga patung hiu dari triplek sebagai ucapan selamat datang di sini. Pertanda bahwa organisasi binaan Gamel sangat concern pada hewan-hewan langka seperti hiu, dan juga cenderawasih. Terdapat instalasi bertulis ‘Stop Animal Abuse’ sebagai penegas suara mereka.
“Beberapa waktu lalu ada paus terdampar di dekat sini,” kisah pria kelahiran 7 Juli 1982 ini.
Sebagai pendiri Rumah Bakau, Gamel sudah tiga kali mendapat penghargaan dari organisasi lingkungan World Wildlife Fund (WWF) for Nature. Pertama pada 2009, dan berikutnya apresiasi serupa pada 2Maret 018, terkait kontribusinya sebagai aktivis peduli konservasi. Penghargaan ketiga didapatnya pada partisipasi di event Earth Hours 2018.
“Saya memiliki kalimat bahwa hanya bumi tempat kita berpijak, sehingga harus kita jadikan tempat yang benar-benar layak huni. Untuk itu, keseimbangan sangatlah penting,” kata Sarjana Hukum lulusan sebuah kampus di Semarang ini.
Sejak kecil, Gamel punya benih cinta lingkungan. Ia berkisah, pada seumuran kelas dua sekolah dasar sudah gemar mendaki gunung.
“Usia segitu, saya pernah tertidur di Gunung Cycloop,” kenangnya. Pegunungan Cycloop terhampar sekitar 36 kilometer yang membentang dari barat ke timur. Pegunungan ini menjadi pembatas antara Danau Sentani dan Samudera Pasifik.
Pegunungan Cycloop menjadi habitat fauna endemik Papua, di antaranya burung cenderawasih, burung kasuari, kuskus, landak semut Irian dan kanguru pohon. Pegunungan Cycloop juga merupakan sumber air bagi Danau Sentani.
Pegunungan ini dinamai Cycloop bermula pada 1768. Kala itu Louis-Antoine de Bougainville, pelaut Perancis, berlabuh di Teluk Humboldt atau Teluk Yos Sudarso. Ia melihat pegunungan di pesisir utara Jayapura yang sepintas seperti raksasa bermata satu yang sedang tidur. Maka Bougainville menamai pegunungan ini Dafonsoro dengan sebutan Cycloop. Cycloop sendiri dikenal sebagai dewa dalam mitologi Yunani. Ia adalah anak laki-laki dari Dewa Poseidon dan Dewi Thoosa.
“Saat kuliah di Jawa Tengah, saya ‘gila’ naik gunung. Di Jawa Tengah, hanya Gunung Slamet yang belum saya daki,” ungkapnya.
Sukses terus berjuang untuk konservasi alam di Papua, Gamel!
Demi anak cucu kita penghuni bumi yang sama berdekade mendatang…