Senang bisa ngupi-ngupi dengan sahabat baik di menara seberang ini.
Gaib Maruto Sigit. Sudah lebih empat tahun ia jadi pemimpin redaksi di MNC Trijaya Network, radio berita yang melabelkan diri untuk ‘profesional muda’. Saya menggemari radio ini sejak masih berdomisili di Surabaya, meski secara pekerjaan saat itu, ya bisa dibilang pesaing ya, hahahaha… Sebagai reporter Radio Salvatore Sonora Surabaya, saya bersahabat sekaligus berkompetisi dengan rekan-rekan sesama jurnalis dan broadcaster dari SCFM Trijaya serta Suara Surabaya Radio.
Kini, dua tahun terakhir bekerja di Manajemen Pelaksana Kantor Prakerja, kantor saya berseberangan tower dengan Trijaya FM Jakarta. Sama-sama di komplek Kerajaan MNC, Kebon Sirih.
“Happy happy ajalah, Jo. Nggak ada kewajiban nyaleg bagi saya,” katanya membuka pembicaraan berteman kopi susu sore itu.
Ya, itu hanya pembukaan pembicaraan saja. Selanjutnya, Gaib berkisah tentang dunia media dan tantangannya saat ini. Munculnya podcaster, seleb Instagram, informasi instan media sosial, dan lain-lain, membuatnya resah.
Berseloroh kepada para akademisi, Pengurus Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Pusat dan Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) ini menyatakan agar pemerintah serta kampus bergerak atas kondisi dunia media yang kian sekarat.
“Kalau media sampai mati, mau ke mana lagi para mahasiswa itu mau magang atau Praktik Kerja Lapangan? Mau magang di podcaster-podcaster itu?” tanya ayah dua puteri ini penuh semangat.
Gaib memang selalu bersemangat. Dengan gayanya yang khas, ngocol, tapi jelas ia bukan wartawan kaleng-kaleng. Portofolio, pengalaman dan loyalitasnya menunjukkan itu.
Saking semangatnya, Master Ilmu Komunikasi sempat berencana membuat podcast bertajuk ‘Suara Gaib’, tapi niat itu urung. “Tidak baik juga terlalu tampil dan menonjol,” ungkapnya. Menyeruput habis segelas kopi dari kedai kopi ‘Napa’ di depan Masjid Bimantara.