Makan malam berteman ombak di sisi Teluk Youtefa bersama suami isteri jurnalis aktivis.
Lebih lima belas tahun mengenal nama suami isteri ini. Pace Mace. Cunding Levi, yang pace, pria asal Makassar namun besar di Papua. Nama lengkap lahirnya Syamsuddin Levi Lazore. Dulu kami sama-sama berjuang sebagai kontributor Tempo Media, menulis untuk koran, media online dan majalah Tempo. Saya koresponden dari Surabaya, Cunding menulis dari Papua. Saya ‘lulus’ dari Tempo awal 2006, sementara Cunding baru meninggalkan almamater lebih dari sedekade kemudian.
Isterinya, Katharina Lita, mengembara sebagai kontributor berbagai media Jakarta untuk liputan Papua. Sampai kami pun beririsan sebagai jurnalis untuk CVC, radio Australia berbahasa Indonesia, dalam kurun waktu 2006-2010.
Kini, mereka berdua mengelola media sendiri. Kabar Papua, namanya. Selain itu, Cunding terpilih sebagai komisioner Komisi Informasi Daerah Papua, mengemban tugas melaksanakan implementasi Undang-undang Kebebasan Informasi Publik No,. 14/2008. Cunding terpilih pada percobaan keduanya. Saat terbentuknya Komisi Informasi periode pertama di Papua, ia sempat nyalon, tapi kurang beruntung. Dari 10 nama peserta uji kepatutan dan kelayakan di Komisi A DPRD Papua, namanya bercokol di peringkat keenam. Padahal, hanya lima yang terpilih.
“Di situ saya belajar untuk lebih banyak melakukan lobby-lobby. Sebagai aktivis, agak canggung juga awalnya untuk lobby, bertemu politisi sekadar memperkenalkan diri,” kata mantan Ketua AJI Jayapura ini.
Sore itu, saya berniat main ke rumah mereka. Tapi, Cunding dan Lita punya ide lain. Jadilah kami bersua di Jasbeer, sebuah restoran nan indah di tepi pantai kawasan Holtekamp. Memang, sejak kehadiran Jembatan Youtefa -kerap juga disebut Jembatan Merah- berdirilah rumah-rumah makan yang ‘menjual’ keelokan pantai. Makan kuliner khas, ditemani debur ombak dan nyanyian band lokal.
“Mas Jojo sudah pernah makan papeda, toh. Ayo, coba lagi. Ambil banyak ikan, sudah,” kata Lita. Ikut juga dalam persamuan ini, Linggar, puteri mereka berusia sekitar 11 tahun.
Di blog ini saya pernah menulis kenangan makan papeda saat Tuhan izinkan kali pertama ke Papua 2017. Makanan dari sagu itu kerap diplesetkan sebagai ‘Papua Penuh Damai’. Toh, meski sudah pernah, saya masih saja tak ahli mengangkat bubur papeda dari mangkuk utama, ‘menggunting’-nya dengan garpu, untuk memindahkannya ke piring saya.
“Diangkat tinggi, diputar-putar dulu dengan dua garpu, baru potong, sudah,” kata Cunding memberi instruksi. Hahahahaha…sedikit-sedikit bisalah. Setara dengan susahnya makan pakai sumpit. Dalam kasus ini, Einzel dan Kira, jauh lebih jago makan mie dengan sumpit stick dari ayahnya.
Selain papeda, terhidang ikan dalam dua mangkok. Satu mangkok kuah kuning, satunya kuah bening. Tentu saja ada sayur dan menyusul buah potong datang kemudian.
Tingkatkan kompetensi SDM Papua
Cunding bersemangat saat kami berdiskusi tentang peningkatan kompetensi sumber daya manusia di Papua. Menurutnya, ada beberapa pelatihan yang perlu dikembangkan secara khusus di provinsi paling timur Indonesia ini. Di antaranya peminatan belajar kemampuan skill bidang makanan olahan, Teknologi Informasi, serta industri kreatif. Selain itu, di Papua banyak nenek-nenek jadi pekerja pengrajin noken, tas unik dari sabut kelapa.
“Kami kagum lihat di Jawa bagaimana orang bisa buat nangka, apel, dan kulit ikan jadi keripik. Di sini banyak sekali nangka dan buah matoa, tinggal bagaimana diajari. Orang Papua pasti bisa,” ungkapnya. Begitu pula sumber lain yang bisa diolah, seperti pengalengan ikan tuna, talas,
Peningkatan keterampilan bidang desain, cara membuat presentasi, foto, film, video, musik, rap, dance, sampai standup comedy juga dinilainya bakal ‘laku’ di Papua. “Dengan banyak pilihan pengembangan diri bidang industri kreatif, akan mudah mengarahkan generasi muda punya pelampiasan positif dalam kegiatannya,” papar Cunding.
Khusus kopi, Cunding menekankan agar potensi Kopi Papua bisa dimaksimalkan. Memang, sepanjang saya berkeliling Indonesia, dari Aceh, Medan, Belitung, Bengkulu, Jogja, Pontianak, Sintang, Bontang, Makassar, sampai Papua, budaya ngopi lekat di hampir semua daerah. Tak hanya sebagai tempat nonkrong, tapi juga beradu kualitas kopi lokal terbaik.
Semalam jelang tinggalkan Jayapura, pasangan suami isteri ini datang ke Swiss-bel Hotel. Beberapa bungkus kopi asli Papua menjadi buah tangan tak ternilai. Cunding berkisah betapa sahabat kami sastrawan yang mantan Ketua AJI Bandung, Zaky Yamani, memberi testimoni di Facebooknya. “Ini kopi ternikmat yang pernah saya minum,” kata Zaky mengapresiasi oleh-oleh dari Cunding.
Kopi-kopi itu dibuat dan diolah oleh tetangganya, buahnya dipetik langsung dari kebun. Tak jarang diambil langsung dari Oksibil, ibu kota Kabupaten Pegunungan Bintang, salah satu surga Kopi Papua selain Wamena di Pegunungan Jayawijaya.
Terima kasih perjumpaan dan persaudaraannya, kaka Cunding dan kaka Lita. Teruslah majukan Papua, kita percaya ade ade di sini tak kalah potensinya. Tinggal buka sedikit, kasih peluang, itu sudah.