Menjadi mahasiswa asal NTT yang berjuang di ibu kota. Sambil kuliah, sambil jadi pegawai di gerai burger ternama.
Malam itu, di Lawless Burger, Kemang, kami berdiskusi tentang kehidupan. Ditemani sekaleng Coca Cola dan Joey Belladona, pilihan burger yang isinya bukan daging, tapi berkonten grilled portobello mushroom alias jamur panggang, bawang karamel, tomat, selada dan chimichurri atau saus hijau ala Amerika Latin.
Fridolin Edwin Moke, begitu nama lengkapnya, tidak pesan apa-apa. Tentu bukan soal harga, toh malam itu ia yang menraktir saya. Tapi, karena setiap hari bergumul dengan makanan ini.
“Setiap hari melihatnya, Pak. Dari pembuatan, sampai penyajian,” kata Edwin. Sejak dua tahun lalu, ia kerja jadi staf di Lawless. Dari food server, kemudian masuk ke kitchen.
Edwin datang dari Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, tepatnya di Kabupaten Ende. Ini daerah yang terkenal dengan kawah tiga warna Danau Kelimutu, juga pohon sukun nan mengilhami Bapak Bangsa Soekarno melahirkan Pancasila saat diasingkan Belanda di sana, 1934-1938.
Ayahnya, Yakobus Juma, seorang guru SD di Ende. Baru masuk masa pensiun. Namanya guru SD, guru kelas, tak hanya mengampu satu mata pelajaran, tapi berbagai subyek. “Bapak saya utamanya guru Bahasa Indonesia. Beliau punya imajinasi amat tinggi,” kata Edwin.
Bapaknya, akrab disapa Pak Kobus, belum pernah ke Jawa, tapi bisa menceritakan topik-topik pelajaran yang ada dengan begitu detail. “Berapa berat emas di Monas, juga bagaimana situasi Lubang Buaya, bisa beliau ceritakan begitu bersemangat seperti yang ada di buku. Saya ingin mengajaknya ke Jakarta, biar lihat sendiri tempat-tempat yang diajarkannya berpuluh-puluh tahun,” kata Edwin.

Selepas SMP, Edwin pindah ke kabupaten sebelah, Sikka. Di Kota Maumere ia menempuh pendidikan di sekolah berasrama. Seminari Menengah Santa Maria Bunda Segala Bangsa Maumere. Jarak Ende ke Maumere hampir 150 km. Saya pernah transit sekitar setengah jam di Maumere, dalam perjalanan kapal cepat dari Tanjung Perak, Surabaya ke Tenau, Kupang, 2001 dan 2002.
Flores memang gudangnya pendidikan Katolik berkelas. Di sisi lain pulau ini, Kabupaten Manggarai Timur, ada Seminari Pius XII Kisol, yang melahirkan alumnus macam Menteri Kominfo Johnny Gerard Plate, bos Metro TV Don Bosco Selamun, eks pemimpin redaksi Harian Kompas Rikard Bagun, peneliti energi Ferdy Hasiman, dan lain-lain.
Lulus dari Maumere, Edwin beranjak ke Jakarta. Ia memilih pendidikan lanjutan Pranovisiat dan Novisiat Ordo Xaverian di Jurangmangu, Bintaro. Serikat Misonaris Xaverian (SX) merupakan kongregasi Gereja Katolik yang mengabdikan diri kepada orang-orang diistimewakan dalam Kerajaan Allah, yaitu kaum miskin, tersingkir dari masyarakat, serta korban ketidakadilan dan penindasan.
Pada akhirnya, Xaverian mengkhususkan diri bagi karya misi. Edwin bisa melalui pendidikan itu, dan siap diutus ke satu dari empat negara: Italia, Meksiko, Taiwan, atau Kamerun. Namun, jelang menempuh pendidikan lanjutan ke Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Edwin memutuskan berhenti. Ia menyatakan mengakhiri panggilan itu, baik melalui telepon pada orangtuanya, maupun secara langsung kepada romo pendamping asal Italia di Bintaro, Pastor Angelo Capanini, SX.

‘Selesai’ dari panggilan imam, sejenak Edwin kembali ke NTT. Tak lama di kampung, akhir 2019, anak kedua dari tiga bersaudara ini kembali ke Jakarta. Merantau dengan tinggal di rumah saudara, setahun berselang Edwin membaca peluang bekerja di Lawless. Enam bulan kemudian, ia memberanikan diri kuliah. Mengambil pendidikan S1 Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Atma Jaya Semanggi. Sekarang sudah duduk di semester tiga. Jadwal kerja 8 jam sementara jam kuliah pagi disiasatinya dengan minta izin baik-baik ke atasan.
“Di kampus, saya kembali bertemu mata kuliah dasar-dasar logika yang juga sudah dapat saat di novisiat dulu, hahahahhaa,” celetuknya. Tekun ia belajar mengembangkan kemampuan menulis. Siapa tahu bisa membanggakan Flores seperti Don Bosco, Rikard Bagun atau malah jadi menteri.
“Saat di sekolah menengah, saya gembira sekali kala puisi saya dimuat di Warta Flores. Judulnya ‘Angin yang Tak Kembali’,” kata Edwin.
Selamat berjuang dan berkarya Edwin. Sebagai eksim -eks seminari- ia pasti bisa membuktikan punya intelejensia, mental, dan kemampuan lebih dibanding kawan-kawannya. Jalani terus spiritualitas ‘In Omnibus Christus’ dan ‘Caritas Christi Urget Nos’. Kristus di dalam segalanya, Kasih Kristus mendesak kami…
Asyik” luar biasa ❤️
Mantap