Penulis hebat asal Aceh, kini bertualang menjajakan skillnya di ibu kota. Survive adalah keniscayaan.
Kami pernah senasib. Yuswardi Ali Suud dan saya ada dalam naungan ‘Forkot’. Bukan Forum Kota yang menjadi salah satu penggerak aksi 1998 menjatuhkan Soeharto. Kami bersama dalam ‘Forum Kontributor (atau Koresponden) Tempo’. Puluhan penulis dari seantero negeri, di bawah nama besar Tempo.
Namun, meski bekerja untuk media besar, kantong kami tak selalu besar. Tergantung banyak berita dimuat atau tidak pada bulan itu. Sekali tayang tulisan di Koran Tempo atau Tempo Online dapat Rp 50 ribu. Sekali muat di Majalah Tempo nan legendaris itu, dicatat Rp 100 ribu. Foto juga dihargai Rp 100 ribu. Itu sudah all in. Sudah temasuk uang bensin, sewa warnet untuk kirim berita, beli baterei buat tape rekam, cuci cetak foto, dan lain-lain. Yus sebagai koresponden di Banda Aceh. Saya di Surabaya. Bagaimanapun suka dukanya, pernah punya atribusi sebagai ‘wartawan Tempo’ membawa kehormatan bagi jalan hidup kami selanjutnya.
Kini kami kembali senasib. Merantau di Jakarta. Sempat ‘menikmati’ sebagai officer Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) pascatsunami, ia kemudian kembali ke media online, Atjeh Post. Lalu mengepakkan sayap ke sentra ekonomi Indonesia.
Yus sudah merasakan kerasnya hidup di ibu kota. Pindah media sana sini. Sempat ke konsultan politik. Juga buka usaha laundry baju di Bekasi, sampai kemudian dilepasnya karena merasa kurang konsentrasi. Isteri dan dua anaknya dipulangkan ke Medan. “Biar ayahnya saja yang bertarung di Jakarta. Sekali-kali saya tengok ke Sumatera,” katanya sembari menyantap dua porsi bakwan jagung dan Kopi Sanger di Atjeh Connection, Sabang. Ini Sabang di Jakarta Pusat. Bukan di Pulau Weh.
Satu yang tak berubah, tulisannya tetap keren. Seperti saat dulu membuat laporan harian atau mingguan untuk media yang berslogan ‘enak dibaca dan perlu’ itu.
Terbaru, Yus membuat opini di Republika berjudul ‘Erick Thohir dan Kisah Juru Selamat Inter Milan’. Pas saat hot-hotnya Menteri BUMN itu mendaftar sebagai calon Ketua Umum PSSI. Mengisahkan kehebatan Erick saat menjadi pemilik Inter Milan.
Dikisahkannya, “Puncak dari reformasi Inter yang dilakukan Erick, meski Erick tak lagi di sana, terjadi pada 2021. Saat itu, Inter kembali menjadi scudetto alias juara Serie A Italia, gelar yang dulu pernah diraih pada 2010.
Dengan rekam jejak seperti itulah, Erick disambut bak pahlawan ketika kembali menjejakkan kakinya di Italia pada 2021. Kepada media Italia, sejumlah fan Inter menyebut Erick sebagai “penyelamat Inter Milan.”
Tampaknya, sejarah penyelamatan Inter Milan itulah yang membuat pecinta bola Tanah Air kepincut agar Erick turun tangan menyelamatkan sepak bola Indonesia dan menorehkan harapan mereka melalui dinding-dinding media sosial.”
Saat meriset sosok Berlusconi, Yus menemukan sebuah artikel dari media Italia. Ternyata, tak hanya saya yang berpikir sosok Erick layaknya Silvio Berlusconi.
Media Italia, Tuttosport.com sudah duluan punya pandangan yang sama. Pada 15 November 2022, media itu menurunkan tulisan bertajuk “Inter, c’è Thohir con Lavrov! I casi della vita…” Artinya: Inter, ada Thohir bersama Lavrov! Kasus kehidupan…
Erick menjadi perhatian media itu lantaran menjamu Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dalam rangkaian KTT G20 di Bali. Media itu bahkan menyebut Erick sebagai Berlusconi-nya Indonesia. Seperti Berlusconi yang menjadi perdana menteri, Erick juga diramalkan bakal menjadi pemimpin Indonesia.
“Seorang bintang, Thohir, yang terus naik daun, sehingga banyak yang memprediksi masa depannya sebagai perdana menteri. Terima kasih yang tulus juga… untuk Inter,” tulis Tuttosport.com.
“Ramalan Tuttosport.com boleh jadi akan menjadi kenyataan, terlebih jika Erick berhasil membenahi PSSI seperti gemuruh harapan para pecinta sepak bola Tanah Air,” simpul Yuswardi.
Selamat terus memberi pencerahan dengan tulisan-tulisanmu, Yus…