Sebuah pelajaran personal public relations, baik genuine maupun dengan desain, dari dua tokoh dalam kondisi sedang down.
Liverpool sedang mengalami masa-masa terburuk. Sebenarnya musim ini tak jelek-jelek amat sih. Pernah membantai Bournemouth sembilan nol. Tapi pernah kalah dari tim papan bawah, Nottingham Forest dan Leeds United. Pekan lalu, keok 0-3 dari Brighton and Hove Albions.
“Saya tidak dapat mengingat pertandingan yang lebih buruk dari ini, tidak hanya di Liverpool, dan itu adalah tanggung jawab saya. Ini poin yang rendah,” kata Jurgen Klopp, pelatih yang begitu dicintai fans Liverpool karena telah mempersembahkan gelar Juara Liga, Piala FA, Piala Liga, Piala Community Shields, Piala Champions, Piala Super, hingga Juara Dunia.
Ia membuat gestur mohon maaf. Penggemar Liverpool masih menghormatinya. Tak ada teriakan ‘Klopp Out’. Suara kencang lebih kepada owner, Jhon W Henry dan kolega asal Amerika, yang dianggap pelit mengucurkan dana pembelian pemain. Saat lini tengah Liverpool butuh peremajaan. Beberapa hari setelah itu, Liverpool bangkit di Piala FA. Mengalahkan tuan rumah Wolverhampton Wanderers 1-0 dalam sebuah partai ulangan.
Di sisi lain, melalui posting di Instagram, Mochamad Iriawan, Ketua Umum PSSI sejak 2019, menyatakan tak lagi maju sebagai pimpinan federasi sepak bola Indonesia pada kongres bulan depan. Ia sadar, publik tak lagi menghendakinya.

Iwan Bule, panggilan akrabnya, membuat sebuah video perpisahan yang amat menyentuh. Maka, simpati-simpati positif pun bermunculan. Jauh dari fenomena yang selama ini muncul: makian dan satir muncul karena wajahnya dianggap lebih banyak muncul daripada pemain timnas sendiri.
Salut, Klopp, salut Pak Ibul. Masa depan akan lebih cerah…