Akhirnya tamat juga membaca buku ini. Inspiratif. Untuk tokoh sesenior beliau, leadershipnya sangat menonjol dan tak pernah mau berhenti berkarya.
Dalam ‘list to do’ harian, sudah beberapa minggu saya tulis daftar pekerjaan: membaca Buku Luhut 10 halaman. Akhirnya, setelah sekian pekan, selesai sudah buku setebal 316 halaman terbitan Kompas Media Nusantara ini.
Ditulis Noorca Marendra Massardi, jurnalis senior yang orang film, buku biografi jadi kado istimewa untuk ulang tahun ke-75 Luhut Binsar Pandjaitan, menteri dua periode Presiden Jokowi, serta di era Presiden Gus Dur.
Luhut lahir 28 September 1947 di Sumatera Utara. Tempo menulis, . Buku ini merupakan kado spesial dari Kartini Pandjaitan-Sjahrir, sang adik yang mewakili keluarga besarnya. Menko Luhut menilai semua yang diceritakan oleh adiknya dalam buku itu cukup baik. “Terimakasih, Kar, isinya sangat luar biasa. Ini adalah memory of life,” tutur dia.
Selain tulisan menarik tentang masa kecil Luhut yang tak banyak diketahui, juga tentang bapaknya yang selain sopir dan kernet bus juga pernah disekolahkan perusahaan ke Amerika, banyak hal menarik di buku ini. Terutama, gaya Noorca membumbui keterangan siapa Luhut dalam metafora jeda halaman per halaman.
Apa yang paling tidak disukai dari diri sendiri?
“Saya terlalu perfeksionis. Jadi, jika ada orang yang kurang perfect, saya akan cepat bereaksi.”
Apa yang paling tidak disuka dari orang lain?
“Orang yang tidak sesuai kata dengan perbuatannya. Yang munafik.”
Warna?
“Saya merah.”
Flora?
“Saya Pohon Beringin.”
Fauna?
“Saya Harimau.”
Kendaraan?
“Saya Mercedes Benz.”
Pesawat?
“Saya Airbus 380.”
Bunga?
“Saya mawar merah.”
Buah?
“Saya mangga.”
Burung?
“Saya Cendrawasih.”
Logam?
“Saya nikel. Karena punya nilai tambah.”
Jika dilahirkan kembali?
“Saya ingin jadi diri saya sendiri. Ingin tetap dari Suku Batak karena saya tidak menyesal menjadi orang Batak.”
Panjang umur, Ompung Luhut!