Jakarta kota yang tak pernah lelap. The city never sleep.
Malam itu berkendara motor pulang kantor. Lewat jalur Menteng-Kuningan-Blok M. Di perempatan Blok M-CSW-Kejaksaan Agung, nampak dua atau tiga orang mengamen. Kreatif. Ada yang pakai biola, ada yang pakai perkusi. Sementara yang cewek bagian vokal dan mengedarkan kotak sumbangan.
“Saya Azizah, dari Depok,” kata perempuan itu, sembari terus berjalan menghampiri pengendara motor dan mobil, saat saya tanya siapa namanya.
Kota ini lambang dari ketimpangan. Ada orang dengan mudah memutar uang di meja judi atau lantai bursa, atau gampang keluarkan ratusan ribu sekali berkunjung ke bar dan kafe papan atas di ‘Senoparty’ -kawasan Jaksel tak jauh dari situ. Tapi banyak juga yang mengais seribu, dua ribu, atau lima ribu dari ngamen di perempatan lampu merah sepertii Zizah dan kawan-kawannya. Juga di pertigaan Permata Hijau Simprug.
Atau memilih mengenakan topeng dan baju badut sembari mengedarkan ember di depan Sarinah. Atau berkeliling kampung dengan serombongan ondel-ondelnya. Inilah kota besar, ‘Big Durian’. Tempat bermimpi, tempat beradu nasib, tempat mereka yang tak menyerah demi bisa bertahan.