“Tuhan, jika aku gugur dan kau takdirkan aku hidup kembali sekali lagi, aku akan korbankan jiwaku untuk nusa dan bangsa.”
Ada dua monumen di sekitar Stasiun Pasar Senen. Kemarin saya berselisih lokasi dengan seorang sopir ojek online untuk menemukan posisi masing-masing. Bersyukur akhirnya bisa bersua.
Di petunjuk peta ojek online tertulis pilihan lokasi bertemu: Monumen Perjuangan. Saya pun menuju titik itu, tak jauh dari peron KA Bangunkarta (Jombang, Madiun, Jakarta) tempat mengantar Einzel kembali ke Yogyakarta. Monumen itu menggambarkan bentuk tiga dimensi sepasang pejuang remaja. Laki dan perempuan. Sementara sekitar 100 meter sisi selatan, dekat Gelanggang Olahraga, terpatungkan jumlah orang lebih banyak. Mirip keluarga. Dengan satu orang berpeci di belakang mirip Bung Karno seperti ‘merestui’ perjuangan itu. Di situlah driver ojol saya berada.
Kompascom menulis, Momumen Perjuangan Senen -yang sisi dekat saya berdiri itu- sempat tak terawat. Lumut menempel di sisi kanan atas monument.
Dinas Museum dan Pemugaran DKI Jakarta pada 2000 mencatat, Monumen Perjuangan Senen termasuk salah satu dari 21 monumen dan patung besar penting di Jakarta. Monumen bergaya realis ini termasuk karya seni berlatar belakang sejarah di Ibu Kota, sama halnya dengan Monumen Nasional, Monumen Perjuangan Jatinegara ataupun Monumen Pembebasan Irian Barat.
Monumen Perjuangan Senen diresmikan oleh Wali Kota Jakarta Pusat A Munir pada 2 Mei 1981. Pematungnya Sadiman, Suhartono, dan Haryang Iskandar yang dibantu pelukis Suyono Palal. Kawasan Senen dan sekitarnya pernah menjadi tempat peristiwa pertempuran pejuang Indonesia selama masa revolusi kemerdekaan, terutama setelah kapal-kapal perang sekutu mendarat di Teluk Jakarta pada 29 September 1945.
Beberapa peristiwa itu di antaranya penyerangan rumah Mr. Roem di Jalan Kwitang, pertempuran di depan Hotel Taytung yang kemudian berlanjut di sekitar Bungur dan Tanah Tinggi. Tak lupa pertempuran besar di Senen pada 13 Oktober 1945 yang mengakibatkan banyak pejuang Indonesia tertangkap dan pertempuran di Jalan Kramat Raya pada bulan yang sama. Guna memvisualisasi rangkaian peristiwa itu semua, dibangunlah Monumen Perjuangan Senen.
Laman Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI menyebutkan, Monumen Perjuangan Senen menggambarkan perjuangan masa revolusi fisik yang mendapatkan dukungan dari segenap unsur masyarakat, entah itu rakyat, pemuda serta anak-anak.
Untuk melambangkan itu, dipatungkan dalam bentuk beberapa orang atau unsur, mengelilingi arah mata angin.
Unsur pertama, seorang pemuda berpeci, tangan kanan memegang pistol dan tangan kiri memapah seorang pemuda yang luka terkena tembakan serta membawa bambu runcing dan golok.
Unsur kedua, seorang pemuda bertopi baret dengan selendang melilit di leher, berdiri tegak sambil memegang pedang. Di bawah patung ini terdapat tulisan,”Jajaran generasi 45. Mempunyai kedudukan. Tersendiri dalam jalannya. Sejarah bangsa karena selalu mendukung idejuga mencetuskan proklamasi.
Unsur ketiga adalah pemuda berikat kepala memegang bedil dan di pinggangnya melilit serangkaian peluru. Di bawah patung ini terdapat tulisan,”Tuhan jika aku gugur dan kau takdirkan aku hidup kembali sekali lagi, aku akan korbankan jiwaku untuk nusa dan bangsa.”
Kemudian unsur keempat atau terakhir, seorang gadis berkepang dua dengan tas tergantung di pundaknya, menuntun seorang anak laki-laki dengan kaki telanjang.
Sebagaimana Washington DC atau kota-kota besar lain di dunia yang pernah saya kunjungi, banyak monumen didirikan untuk penghormatan pada kisah bersejarah. Semoga kita bisa merawatnya.