Saat ini di dunia pekerjaan tengah populer istilah ‘gig economy’, sebuah fenomena di dunia kerja merujuk pada karyawan lepas atau mereka yang bekerja dengan sistem kontrak jangka pendek. Berasal dari kata ‘gig’ dalam bahasa Inggris yang bisa diartikan ‘manggung’, mereka yang menekuni bidang ini bisa diibaratkan musisi yang tidak digaji bulanan, tapi dibayar jika manggung. Namun, meski tak ada pendapatan tetap, sekali mentas honornya bisa buat hidup beberapa pekan.
Konsep bekerja ‘gig economy’ menjadi ngetren karena berbeda dengan konsep bekerja dalam lingkup konvensional, ‘gig economy workers’ tidak bekerja secara permanen. BBC menulis, di Inggris saja, ada sekitar lima juta orang dipekerjakan dalam pola seperti ini. Pekerjaan-pekerjaan yang bisa digolongkan ‘gig economy’ misalnya kurir, pengemudi transportasi online, konten kreator, food photography, penulis serta jurnalis lepas, desainer grafis, asisten project manager, programmer, standup comedian, copywriter, data scientist, network analyst, IT engineer, sampai bidang-bidang jasa seperti membersihkan rumah, menjaga hewan peliharaan, dan lain-lain.
Di era transformasi digital, dengan peran besar internet sehingga jarak antara pemberi dan penerima kerja tak lagi jadi batasan, tren gig economy akan terus berkembang. Profesi-profesi lain pun akan menyusul menerapkan pola kerja seperti ini, dan itu menguntungkan bagi kedua belah pihak. Pemberi kerja tak perlu repot dengan kontrak jangka panjang beserta konsekuensinya, sementara penerima kerja pun senang karena tak terikat status tetap dan bisa juga mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain pada waktu yang sama. Seorang pengusaha tak lagi terpaku wilayah kerja untuk mencari pekerja kompeten, karena semua orang bisa bekerja di mana saja dan tetap menghasilkan kualitas kerja memuaskan.
Pilihan Generasi Z dan Milenial sebagai pekerja lepas di era gig economy tentu saja tidak salah. Menjadi ‘gig economy workers’ pun sesuai dengan karakter anak muda sekarang yang jarang bertahan di sebuah tempat kerja pada waktu lama. Kalau dulu generasi orang tua bisa bertahan lama di sebuah perusahaan dalam jangka waktu puluhan tahun, anak muda masa kini paling lama bertahan 2-3 tahun saja di sebuah kerja. Ternyata, fenomena itu tak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di negara-negara lain. Di Singapura, warganya berganti pekerjaan rata-rata tiap lima tahun.
Selain itu, sepanjang semua dilakukan secara profesional karena ingin mendapatkan reward lebih baik sesuai kemampuan yang meningkat, kebiasaan bekerja dalam jangka pendek tanpa keterikatan kontrak panjang juga bisa dimaklumi. Tentu saja, selain attitude yang terpuji, hal lain yang harus terus kita lakukan untuk mendapatkan penghargaan meningkat adalah menambah keterampilan melalui upaya reskilling dan upskilling. Ikuti berbagai pelatihan untuk tahu ilmu-ilmu baru dan bidang pekerjaan lain (reskilling) atau memperdalam kapasitas di bidang yang sudah kita kuasai (upskilling). Dengan dua kata kunci itu, niscaya kita akan sukses di dunia kerja, termasuk jika memilih jalan sebagai ‘gig economy workers’.
Direktur Eksekutif Prakerja Denni Purbasari dapat memaklumi kalau Milenial dan Generasi Z menyukai peluang karir di era ‘gig economy’. “Survei membuktikan hal ini menjadi sumber pendapatan tambahan bagi mereka, walaupun waktu bekerjanya tak terprediksi. Pekerjaan seperti ini membutuhkan kreativitas, independensi dan disiplin tingkat tinggi,” katanya.
Denni menekankan kesempatan dalam hidup tidak datang begitu saja, karena itu kesempatan harus dikejar dengan baik. “Prakerja menjadi pintu bagi anak muda untuk mendapatkan skill yang dibutuhkan dan mengetahui peluang kerja yang tersedia secara cepat,” ungkapnya.