Sukabumi, Kota Mochi, Kota Polisi

Berlibur dua hari semalam ke Kabupaten dan Kota Sukabumi. Sepelempar batu dari Jakarta yang akan semakin dekat kalau Tol Bocimi beroperasi penuh.

Pernah 23 tahun silam, di sebuah lapangan olah raga dekat gereja di Los Palos, ujung timur Timor Leste, saya nyeletuk, “Kayak Sukabumi, neh…” Tentu saja asal nyeletuk. Karena, saat itu saya masih ber-KTP Surabaya, belum pernah ke Sukabumi. Selain itu, beda jauh dong. East Timor terkenal panas, sementara Sukabumi daerah yang cukup sejuk.

Akhirnya, kesampaian juga ke sana. Berakhir pekan kunjungi beberapa destinasi. Dari rumah di batas Jakarta – Tangerang, kami berempat berangkat jam 7 pagi. Lewat tol Lingkar Luar Jakarta, transit di Rest Area Cibubur, sampai Ciawi, nyambung ke Bocimi. Tol yang bermakna Bogor, Ciawi, Sukabumi ini belum tuntas sepenuhnya. Baru tuntas sampai Seksi 1, meski Seksi 2 sudah dibuka secara fungsional pada Libur Lebaran lalu.

Lengkapnya: Seksi 1 Ciawi-Cigombong sepanjang 15,35 kilometer beroperasi sejak 2018 sementaraSeksi 2 Cigombong-Cibadak sepanjang 11,9 kilometer yang dioperasikan secara fungsional pada Lebaran 2023.

Untuk Seksi 3 Cibadak-Sukabumi Barat sepanjang 13,70 kilometer saat ini masih dalam tahap pembebasan lahan dengan progres 79,4 persen dan Seksi 4 Sukabumi Barat-Sukabumi Timur sepanjang 13,05 kilometer dengan progres pembebasan lahan 9,9 persen.

Sempat tersendat di kepadatan Pasar Cigombong, Parung Kuda dan sedikit kebablasan di Cibadak, kami sampai di lokasi rafting Arus Liar, Citarik, Cikidang jelang jam makan siang. Syukurlah tempat ini sudah kembali pulih, setelah tiga tahun terdera pandemi.

“Wah, parah, Mas. Saat pandemi, kami benar-benar banting profesi karena tak ada kunjungan tamu berwisata arung jeram. Ada tour leader yang jadi petani, pemandu arung jeram jadi tukang gojek, dan lain-lain,” kisah Rizal, salah satu pemandu perahu kami saat itu.

Selain terkenal makanan khas kue mochi, Sukabumi dikenal sebagai ‘kota polisi’. Di sini ada Sekolah Pembentukan Perwira (Setukpa) yang sebagian siswanya kami jumpai saat beribadah bareng Misa Minggu di Gereja Santo Yosep, Suryakencana. Misa dilayani  Dionisius Bismoko Mahamboro, Pr., yang sehari-hari bertugas di Seminari Tinggi Santo Paulus, Kentungan, Yogyakarta.

Detikcom menulis, Setukpa Lemdiklat Polri telah berulang kali mengalami perubahan nama. Pada tahun 1927 sampai 1942 (periode penjajahan Belanda) Setukpa diberi nama Politie School (Opleiding School voor het personeel der politie). Dia mengatakan, sekolah tersebut menjadi pusat sekolah polisi nusantara pertama dan terbesar pada masanya.

Tak hanya mendidik personil polisi tingkat tinggi dan rendah, bahkan mendidik pula pamongpraja dan militer untuk kepentingan khusus. Maka pelajarannya beragam mulai pelajaran umum, pelajaran khusus kepolisian hingga salah satu ujiannya adalah simulasi pemberontakan.

Irman mengatakan, Sukabumi semakin menjadi kota yang terikat dengan polisi pada masa itu. Terbukti dengan rekomendasi perhimpunan Inspektur Hindia Belanda.

Pada 6 Oktober 1932, para inspektur polisi Hindia Belanda memutuskan untuk mendirikan sebuah monumen polisi di Kota Sukabumi untuk mengenang anggota polisi se-Hindia Belanda yang gugur saat bertugas. Peresmian rencananya akan dilakukan pada bulan Agustus 1939, namun karena kondisi genting Hindia Belanda saat perang Dunia kedua, monument tersebut gagal didirikan.

Pada masa penjajahan, Sukabumi dinilai menjadi kota yang paling aman sehingga pemerintah Hindia Belanda ‘membuang’ para pejuang yang memberontak ke Sukabumi. Beberapa di antaranya yaitu Bung Hatta, Sjahrir, Dr Tjipto Mangunkusumo, Haji Rasul (Ayahnya buya Hamka). Sebelumnya, para pejuang nasional seperti Raja Sulawesi, putra-putra Raja Lombok, Raja Aceh yang memberontak juga dibuang ke Sukabumi.

Satu yang unik di Sukabumi, setiap ada kenaikan kelas, seperti hari-hari ini, ada parade di berbagai kampung. Menampilkan drum band, mobil hias, dan aneka figur yang dihias raksasa, dari ikan besar sampai monster ala dinosaurus. Tak ayal, jalan desa menuju kawasan wisata yang sudah kecil dan hanya satu-satunya akses itu pun jadi macet panjang. “Setahun sekali, Pak. Tiga tahun kemarin tak ada pawai begini karena Covid,” kata seorang warga di sekitar Kadudampit saat kami mengeluh mengapa bikin keramaian di akses meuju desitinasi wisata.

Sepenggal kenangan di Sukabumi, kota dan kabupaten nan amat luas, dari ujung Bogor sampai pantai selatan Palabuhan Ratu, bahkan juga berbatasan dengan Kabupaten Lebak, Banten.

Leave a Reply

Your email address will not be published.