Arung Jeram Arus Liar

Rafting mengajarkan kita banyak hal. Di antaranya kebersamaan mengatasi tantangan.

Ini kali kedua saya melakoni rafting, arung jeram. Sependek ingatan saya, yang pertama pada 2005 di Sungai Pekalen, Probolinggo. Kala itu bersama rombongan wartawan Jawa Timur. Saya ingat adegan “mengerikan”-nya. Jojo 28 tahun “dipaksa” para pemandu arung jeram loncat dari atas lahan di atas kali.

Sekitar 3 meter mungkin, terjun ke sungai. Saya tegaskan, saya tidak bisa berenang. Tapi, mereka meyakinkan akan menyelematkan saya kalau tenggelam. Sudah ditebak, meski pakai pelampung, saya meluncur bak batu ke dalam sungai.

Kali ini bersama Celi, Einzel, dan Kira. Arus Liar, Sungai Citarik, Kabupaten Sukabumi. Lokasi tempat digelarnya kejuaraan dunia arung jeram atau World Rafting Championship pada 2015 lalu. Di salah satu spot rafting ini tampak tiang-tiang yang dibuat sebagai acuan “slalom” saat kejuaraan arung jeram.

Arus Liar bukan satu-satunya operator arung jeram di Citarik. Ada beberapa organizer lain di lokasi bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun-Salak ini seperti Caldera, Bravo, dan lain-lain.

Kami mengambil paket 9 kilometer, seharga Rp 260 ribu per orang. Ada paket lain sepanjang 5 kilo, dan ada juga yang sampai 13 kilomter, konon sampai ujung Palabuhan Ratu. “Tapi, untuk 13 – 17 kilometer, kami lagi tutup. Airnya surut,” kata Kang Caun, tour leader kami.

Memang, air Sabtu pagi itu tak setinggi biasanya. Efeknya memang jadi tak bahaya, apalagi kami bawa anak-anak. Namun sisi lain, arung jeramnya jadi kurang seru. Tapi tetap asyik, kok. Karena surut, beberapa kali perahu kami nyangkut.

Adegan-adegan tegang lain tetap ada. Tiba-tiba boat kami, berisi 4 orang sekeluarga plus satu pemandu, menabrak batu bak gunung es. Atau saat para guide meminta kami duduk ndelosor di dasar perahu karet. Kami nurut. Ternyata saat itu turunan jeramnya lebih dahyat.

“Kalau tetap di atas bahaya, nanti bisa ‘terbang’ dari perahu,” ungkap Rizal, pemandu kami lainnya.

Tak “seseram” di Pekalen, tapi saat tiba di sebuah titik landai, anak-anak meminta saya turun dari perahu untuk ikut berenang. Mereka jago berenang, sementara saya -18 tahun setelah rafting di Jatim- tetap belum bisa berenang. Ya, lumayanlah, cemplung-cemplung sedikit.

Dari rafting seperti ini kita belajar kekompakan, bersahabat dengan alam, dan berani mengatasi suspens ketegangan hidup. Bagi anak-anak, memori keberhasilan melewati tantangan itu tentu sangat terekam.

Kapan Anda sekeluarga berarung jeram?

Leave a Reply

Your email address will not be published.