Senang bertemu (mantan) mahasiswa yang meretas karir dengan penuh optimisme. Seharusnya sih, tak ada istilah mantan mahasiswa dan mantan dosen ya. Hidup harus terus belajar, pun kalau yang dulu jadi pengajar bisa juga belajar pada yang lebih muda.
Eldo Christoffel Rafael, saya mengenalnya di kampus Universitas Multimedia Nusantara. Sekitar enam tahun mengajar mata kuliah jurnalistik di Fakultas Ilmu Komunikasi kampus milik Kompas Gramedia Grup itu, Eldo hadir sebagai mahasiswa angkatan 2011.
Putra NTT, blasteran ayah Kupang dan ibu asal Rote, Eldo percaya diri menempuh jalur public relations. Setidaknya konfidensi itu dituliskan di profil linkedinnya. Pernah juga jadi wartawan cukup lama, di tabloid ekonomi papan atas dalam negeri, dan juga koresponden kontributor media asing. Sempat merintis usaha konveksi bersama kawan-kawannya, lalu pandemi meruntuhkan mimpi bisnis itu. Pun ia tak kurang kesibukan. Jadi konseptor podcast, menjadi konsultan komunikasi menangani laporan keuangan perusahaan yang jadi emiten di bursa, dan kini ada di tim corporate communications sebuah perusahaan FMCG. Fast Moving Consumer Goods, sebutan untuk korporasi produsen makanan, minuman, dan kebutuhan sehari-hari. Produk konsumen yang sering dibeli dan dikonsumsi karena harganya terjangkau sehingga barangnya terjual dengan cepat.
“Pengennya sih di usia 35 tahun, saya ngajar aja, sambil main saham. Menikmati hiduplah,” kata pemilik gelar master jurnalisme dari Ateneo de Manila University yang tahun ini berusia 30 tahun. Eldo berencana mengakhiri masa lajangnya akhir tahun ini. Pujaan hatinya bekerja di industri media, ‘kecantol’ saat mereka liputan isu ekonomi.
Kami menikmati bakso urat Centre Point MNC Tower sembari tertawa, berbincang tentang kawan-kawannya kuliah. Ada yang jadi wartawan koran terbesar negeri ini, ada pula yang tercebur jadi konsultan politik.
“Ada juga yang banting setir jadi kepala cabang perusahaan sekuritas, Pak. Bisa juga ya, padahal belajarnya kan komunikasi,” kisahnya. Pada banyak orang, saya menegaskan sebenarnya tak suka dipanggil ‘Pak’. Atau ‘Bang’. Cukup ‘Mas Jojo’ saja. Yang boleh manggil ‘Pak’ hanya dua golongan. Pertama, mahasiswa yang aktif dalam hubungan sebagai dosen saja. Kalau dia kan sudah tidak lagi pada relasi kuasa itu. Kedua, ya dua anak saya. Itu pun nyebutnya ‘ayah’.
Saya sampaikan ke Eldo, anak muda milenial dan GenZ macam dia dan adik-adik angkatannya sebenarnya jauh lebih capable daripada generasi kami. Dalam hal skill, penguasaan teknologi, kemampuan berbahasa asing, dan lain-lain. “Yang perlu ditumbuhkan adalah rasa percaya diri. Bahwa diri ini bisa dan mampu untuk melakukan banyak hal-hal besar. Jangan underconfident dalam ‘bertarung’ di hidup ini,” pesan saya. Yang justru dalam beberapa saat terdera sifat kurang percaya diri itu sendiri, hehehehe… Memang, ngomong lebih mudah ya…
Jakarta beranjak malam. Macet sebagai dampak jadi tuan rumah KTT ASEAN membuat jalanan dibuka tutup di ruas-ruas utama. Tapi, kami tetap harus berkemas balik. Eldo ke Kemanggisan, dan mantan dosennya ke Ciledug. Ada beberapa poin bisa ditulis dari pertemuan kami. Tapi ada juga yang mesti disimpan rapat-rapat. Dibawa dalam doa saja.
Berheadphone di MRT Bundaran Hotel Indonesia menuju Blok M, saya mendengar kotbah live Pendeta Philip Mantofa melalui siaran Youtube di gawai dari Gereja Mawar Sharon, Surabaya. Saat Teduh Bersama setiap Rabu petang. Kali ini judulnya, “Tuhan Mengasihi Tanpa Tapi”. Kok ya narasinya bisa pas dengan perbincangan kami saling memotivasi tadi.
“Untuk Anda yang sedang bosan hidup, merasa kesal, lelah, jangan bilang gitu. Tuhan mengasihi kita tanpa koma. Untuk Anda yang menghadapi badai dan topan di jiwamu, tenanglah. Tuhan mengasihimu, Tuhan belum selesai dengan dirimu. Besok akan ada harapan baru. Masa depan penuh pengharapan. Serahkan pada Tuhan,” begitu doa Koh Philip malam ini.