Joe ‘Pembelajar’ Prasetyo

Bertemu teman masa kecil yang dikaruniai miles travelling untuk passionnya: pendidikan.

Menyenangkan saat rekan yang bertumbuh bersama di Surabaya mengontak kembali. Namanya Johanes Eko Prasetyo. Awalnya dipanggil Jojo. Tapi, karena di persekutuan doa gereja saya lebih dulu disapa Jojo, Jojo Raharjo, maka ia “mengalah” dengan sapaan Joe. Joe Prasetyo atau Joe Sujojo.

Padahal, saya ya tidak masalah kalau ada orang lain disapa dengan Jojo. Toh Jojo juga bukan nama asli. Dan hak semua orang dengan nama Johanes, Joseph, Jonathan, dan lain-lain memakai nama Jojo. Sekarang pun di kantor ada yang dipanggil Jojo. Dari asal nama Joshua.

Joe Prasetyo ini menekuni passion di dunia pendidikan. Di sebuah yayasan pendidikan Kristiani di Jawa Timur. Karena itu, ia cukup sering bepergian ke berbagai daerah, mengecek sekolah-sekolah yang menjadi afiliasinya. Juga untuk agenda-agenda lain, kali ini dalam event Indonesian Forum of Christian Educators (IFCE) Conference di Senayan City. Pada Sabtu, 30 September 2023, Joe akan memoderatori Ketua Yayasan Iman, Pengharapan, dan Kasih, (IPEKA) Erwin Trenggono dalam diskusi bertopik ‘Leading and Creating a21st Century Workspace Culture).

“Sebuah kehormatan saya bisa memoderatori beliau. Saya sudah riset, Pak Erwin seorang pengusaha dan pendidik hebat. Perjalanan hidupnya dari nol memberi inspirasi kita untuk bisa sukses dari latar belakang apapun,” kisah Joe berteman nasi goreng ceplok telur, bakwan, dan tahu goreng di MyTen Coffee & Eatery, Senayan Park.

Tak hanya itu saja. Aktivitasnya sebagai pengurus Jaringan Sekolah Madrasah Belajar, jaringan pendidikan yang dipimpin Najeela Shihab, menyisakan slot perjalanan ke Jakarta lagi beberapa pekan ke depan. Lihat saja shirt yang dikenakannya sore itu, “Mengapa banyak yang kecanduan gawai, tapi sedikit yang kecanduan belajar?”

Pria 40 tahunan yang tinggal di Kota Batu ini berbagi pikirannya di Surat Kabar “Pemimpin Belajar”. Sebuah media dari komunitas memberdayakan sekolah dan madrasah yang ‘dicetak’ online. Menulis sebagai perwakilan Sekolah Kristen Aletheia, Joe menekankan bahwa langlah-langkah kolaborasi lembaga pendidikan tak bisa sekejap langsung dinikmati. Ini seperti seorang petani yang menanam. Masa panennya bisa di waktu yang akan datang dan tidak harus kita yang melakukannya. “Ada bagian yang menanam dan ada yang menyiram. Yang menanam maupun yang menyiram akan menerima bagian dan masanya sendiri. Semua semata merupakan tim kerja,” tulisnya.

Kali lain, Joe mengungkap unek-uneknya tentang bagaimana pentingnya sekolah melibatkan stakeholers dalam implementasi kurikulum merdeka. Ayah tiga anak ini menganalogikan soal “pemangku kepentingan” dari komunitas keluarga. “Suatu ketika, topik pembicaraan kami tentang pekerjaan bapaknya yang saat itu sering meninggalkan anak-anak untuk bertugas ke lokasi yang jauh dari rumah dalam waktu tertentu,” ceritanya.

Joe bertanya, “Bagaimana perasaan anak-anak ketika bapaknya melakukan perjalanan ke luar kota dalam frekuensi tinggi?” Pertanyaan ini ia ajukan mengingat anak-anak dan istri adalah pihak yang terdampak karena pilihan yang diambilnya, suami istri yang banyak bepergian. “Mengapa saya memilih bertanya dan mendengarkan anak dan istri saya? Bagi
saya, pihak-pihak ini adalah pemangku kepentingan utama dalam kehidupan saya,
terutama dalam merespons perubahan-perubahan yang membutuhkan
penyesuaian semua pihak.

Menjadi pendidik sangat penting. Menanamkan semangat pembelajar. Demikian juga tugasnya sebagai pengawas para pendidik adalah tugas mulia. Meski kerap jadi omongan atau malah disepelekan.

Selamat terus berkarya dan menanamkan spirit learn, unlearn, dan relearn, Joe…

Leave a Reply

Your email address will not be published.