Leila Salikha Chudori menceritakan kisah para aktivis yang hilang dengan sangat menyentuh. Serasa berada pada perspektif korban, kekasih, dan keluarganya.
Kisah belasan orang yang hilang di akhir masa Orde Baru akan terus jadi teka-teki negeri. Saya pernah menulis filmnya di sini, tentang perjuangan mencari kebenaran sekaligus merekonstruksi aktivisme Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah.
Tapi, melihat film dokumenter tentu beda dengan membaca buku. Buku yang dikisahkan ala cerita harian. Tokoh utamanya, Biru Laut Wibisana. Ia anak seorang wartawan, aktivis organisasi aktivis bernama Winatra (anggap saja kiasan dari PRD -Partai Rakyat Demokratik).
Ini buku kedua Leila yang saya baca. Yang pertama ‘Pulang’, kisah tentang seorang eksil dan keluarganya. Juga bercerita tentang perlawanan terhadap pemerintahan Suharto.
Tentu banyak kutipan di kisah Laut Bercerita. Juga tentang kisah cinta dibumbui ‘seks tipis-tipis’ Laut dan Anjani, juga Asmara Jati dan Alex Perazon. Asmara merupakan adik laut, sedang Alex adalah kawan Laut, yang juga diculik serta disiksa pasukan itu. Bedanya, Alex dibebaskan, dikembalikan dengan selamat. Dikirim dengan pesawat komersial, ke kampungnya di Flores, Nusa Tenggara Timur.
“Mereka mengatakan akan memberi saya tiket pesawat pulang ke Flores. Dengan rinci mereka mengatakan bahwa di pesawat saya akan duduk bersebelahan dengan seorang bapak tua berbaju biru. Di belakang saya, akan ada sepasang suami istri paruh baya. Sang isteri mengenakan rok jingga dan blues putih sedangkan si suami mengenakan kemeja batik dan pantalon hitam. Mereka semua adalah orang-orang yang akan mengawasi saya dan kalau saya berbuat aneh-aneh, mereka akan segera membunuh saya,” kata Alex.
Dan tepat, persis seperti yang dikatakan penculik itu, demikianlah kejadiannya. Alex bahkan tak berani makan dan minum yang disediakan pesawat. Ia hanya ingin hidup dan bertemu orangtua dan kawan-kawannya.
Buku setebal 377 halaman ini saya baca dalam perjalanan Jakarta-Solo pulang pergi. Lanjut Jakarta-Bali pergi pulang. Masih tak tamat juga hingga dua pekan ke depannya.
Akhirnya, setelah ada dua sudut pandang dari Laut dan Asmara, Leila menutup dengan kisah ’keikhlasan’ para keluarga melepas krans bunga mewakili para korban ke laut. Termasuk bunga atas nama Laut. Dan, saat itulah, seperti masa kecil Laut dan Asmara bermain morse.
Laut yang selalu bilang bahwa ia akan memberi isyarat kepada Mara -panggilan adiknya- melalui alam. Sejak kecil mereka biasa berbagi kode lewat morse, terutama kala bermain petak umpet.
Setelah acara keluarga korban penculikan melepas bunga duka, dua ekor pari terbang dan meloncat-loncat. Kepak sayap mereka mengeluarkan bunyi dengan ritme teratur, laksana morse, L.A.U.T.B.E.R.C.E.R.I.T.A.
Covernya pun keren. Dilukis Widiyatno, menggambarkan laut dan ikan yang berenang dengan gambar kaki dirantai di dasar air serta bebatuan.
Sepertinya, seperti kisah di buku ini, para aktivis itu memang telah diikat dan dibuang dalam tong ke laut. Masa demi masa berjalan, Kamisan demi Kamisan di depan Istana berlalu, presiden demi presiden berganti.
Mbak Leila menceritakannya dengan begitu mengharu biru. Fiktif tapi kuat riset.