Hari ini, setahun lalu. Jum’at 2 Desember 2016, ratusan ribu –ada yang mengklaim jutaan- warga Jakarta dan sekitarnya mengepung Monas. Sebagian besar ber-‘dress code’ putih, menyuarakan tuntutan hukuman untuk Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang dianggap menistakan agama mereka. Aksi terbesar, setelah pada Jum’at bulan sebelumnya hadir dua kali, pada 14 Oktober dan 4 November 2016.
Aksi 14 Oktober tertutupi oleh pelantikan ‘mendadak’ Ignasius Jonan yang kembali masuk Kabinet Kerja setelah tiga bulan tersingkir dari kursi Menteri Perhubungan. Kali ini, Jonan menjabat Menteri ESDM menggantikan Archandra Tahar yang sempat digoyang kasus dwi kewarganegaraan dan akhirnya turun posisi jadi wakil.
Adapun aksi 4 November, yang kondang dengan angka 411 dan viral karena dianggap menyerupai aksara Allah dalam huruf Arab, menjadi ramai dengan polemik karena Presiden Jokowi dianggap ‘kabur’ dari Istana. Presiden Jokowi saat itu memilih meninjau proyek kereta bandara di kawasan Bandara Soekarno Hatta. Tentu, berita ini kemudian dibumbui dengan berbagai ‘spin’, seolah-olah presiden menyiapkan plan pergi dari Indonesia menuju Australia –rencana kunjungan kerja pada hari berikutnya- atau tujuan lain, jika kondisi Jakarta tak bersahabat.
Sebulan berikutnya, Presiden Jokowi memutuskan hadir di panggung aksi massa Jum’at, 2 Desember 2017. Konon, keputusannya ini sempat dilarang oleh orang-orang dekatnya, dengan alasan tak ada yang bisa menjamin keamanan Presiden di tengah begitu banyak orang di Monumen Nasional.
Saat itu, setelah meninjau pembangunan di kawasan Gelora Bung Karno, Senayan, pada pagi hari, Jumat, 2 Desember 2016, Presiden Joko Widodo kembali ke Istana Kepresidenan. Menjelang siang hari, Presiden didampingi Wakil Presiden M. Jusuf Kalla dan sejumlah menteri bersholat Jumat di Lapangan Monas, bergabung dengan massa yang melakukan doa dan tausiyah untuk negeri. Sebelumnya, opsi Sholat Jum’at disiapkan di Masjid Baiturrahim Istana Merdeka atau di Istiqlal. Tapi, Presiden Jokowi memilih menuju episentrum massa.
Suasana di sekitar Monas dan Istana Kepresidenan dipenuhi oleh umat Islam. Cuaca dalam keadaan hujan gerimis. Seusai sholat Jumat, Presiden Jokowi menyampaikan sambutan di hadapan umat yang memenuhi Lapangan Monas.
Presiden menyatakan apresiasi dan terima kasihnya atas doa yang dilantunkan oleh umat yang datang dari berbagai penjuru tempat untuk negeri. Kehadiran Presiden di Lapangan Monas menjadi komitmen Presiden untuk menyapa segenap rakyat yang hadir dan ikut berdoa bersama untuk negeri ini. Ikut menerobos hujan sepanjang komplek Istana menuju Monas, saya menjadi saksi ‘kenekatan’ Presiden Jokowi.
“Saya ingin memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada jamaah yang hadir dalam ketertiban sehingga semuanya terlaksana dengan baik. Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar,” seru Presiden.
Selain itu, dirinya juga berterima kasih kepada para jamaah yang telah mendoakan kebaikan dan keselamatan bagi bangsa dan negara. Sebelum kembali menuju Istana, Presiden juga mendoakan keselamatan bagi para jamaah yang akan kembali ke tempat tinggalnya masing-masing.
“Terima kasih atas doa dan dzikir yang telah dipanjatkan untuk keselamatan bangsa dan negara kita. Allahuakbar, Allahuakbar, Allahuakbar,” ucapnya yang juga disambut pekik takbir para jamaah.
Kini, setahun berselang, meski beberapa lembaga menyatakan tak setuju, mereka kembali berkumpul dalam label ‘Reuni dan Kongres Alumnu 212’. Menggelar pertemuan di Wisma Persaudaraan Haji Cempaka Putih, Jakarta Pusat dilanjutkan doa bersama di Monas, event ini menggelar tema mensyukuri nikmat Allah SWT dan merawat energi Surat Al-Maidah ayat 41 untuk kebangkitan umat demi kejayaan NKRI. Katanya sih, murni silaturahmi, tidak bernuansa politis.
Kali ini, Presiden Jokowi tak hadir. Presiden sudah punya agenda datang di acara puncak peringatan Hari Guru Nasional di Stadion Patriot, Bekasi. Sebagaimana acara serupa tahun sebelumnya di depan perwakilan guru se-Indonesia, Presiden Jokowi membungkukkan badan sebagai tanda hormat dan terimakasih pada para penduduk.
Di Monas, orasi berjalan. Dari ulama hingga tokoh masyarakat, mantan ketua lembaga tertinggi negara bergantian tampil, bahkan dengan tendensi mencaci pemerintah.
Menjadi pertanyaan kemudian, benarkah klaim bahwa acara ini hanya mensyukuri nikmat tanpa bernuansa politis lebih jauh?
Sebagaimana ditayangkan di http://tz.ucweb.com/12_24gbb