Sepuluh tahun tinggal di ‘Simprug Crown’, Mentjong, Ciledug, baru kali ini, 1 Januari 2020 banjir besar masuk hingga ke dalam rumah.
Membangun Asa dari Rusunawa
Dari rumah susun lima lantai yang semula gulita tak terpakai, semangat hidup para korban bencana mulai disusun.
GARUT– Satu unit rumah susun itu berukuran tak lebih dari 21 meter persegi. Standarnya petakan di rusun, terdiri dari satu ruang keluarga, satu ruang tidur, satu dapur serta satu kamar mandi. Sangat sederhana, tapi di rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di ruas jalan Garut-Bayongbong kilometer 5 inilah, para korban musibah banjir bandang mulai meretas harapan.
“Kami bersyukur ada di sini. Tempat tinggal nyaman, bantuan pun mencukupi,” kata Eni Handayani. Lima anggota keluarga dekatnya menjadi korban luapan Sungai Cimanuk, 20 September 2016. Setelah jenazah nenek dan dua adiknya ditemukan, sulung dari sebelas bersaudara ini terus menanti kabar sang ibu, Sri Listiawati, 44 tahun, serta adiknya yang lain, Tania Hoki, 10 tahun, yang masih dinyatakan hilang.
Tekad Tak Menyerah RSUD Dokter Slamet
Rumah sakit yang dibangun di era kolonialisme Belanda menjadi salah satu bangunan terdampak bencana banjir bandang. Perlahan tapi pasti, mencoba bangkit sebagai fasilitas publik yang melayani 2,5 juta warga Garut.
GARUT– Sepasang pigura berisi cetakan slogan masih terpampang di ruang radiologi RSUD Dr. Slamet, Garut. Kertas berbingkai dengan judul ‘Garut Bangkit Garut Berprestasi’ bertuliskan visi-misi rumah sakit umum daerah yang berdiri sejak zaman penjajahan Belanda itu. Saat berkunjung meninjau keadaan RSUD Dr. Slamet, Kamis, 29 September 2016, Presiden Joko Widodo cukup lama berada di area ruang radiologi, sebagai salah satu titik terparah yang mengalami kerusakan akibat bencana banjir bandang luapan Sungai Cimanuk.
Semangat ‘Jibeh’ ala Warga Garut
Bencana banjir bandang yang melanda Garut bak mimpi buruk di tengah malam bagi 2,5 juta jiwa warga kabupaten yang sebagian besar wilayahnya berupa pegunungan ini. Curah hujan yang amat tinggi, mencapai 255 milimeter kubik per detik, ibarat hujan sebulan tertumpah dalam empat jam saja. Jelang pergantian hari, tanggul Sungai Cimanuk sepanjang 350 meter di Desa Kaum Lebak pun jebok. Di tengah kegelapan, warga melihat air berputar bak gasing panggal, menyapu bangunan dan kendaraan yang dilewatinya. Hanya dalam hitungan menit, atap rumah pun terlempar ke tengah sungai.
Ini Kata Jurnalis TV Mengapa Harus Nyemplung Saat Liputan Banjir
Sebagaimana dimuat di Merdeka.com
Merdeka.com – Jakarta hari ini hujan deras, banjir pun terjadi di mana-mana. Beberapa daerah, seperti di Kelapa Gading, Jakarta Utara lumpuh total.
Di stasiun televisi, kita menyaksikan para reporter berjibaku dengan liputan banjir. Mereka menyiarkan secara langsung di tengah derasnya hujan dan kubangan air banjir, dengan menggunakan mantel.
http://www.youtube.com/watch?v=FKGKcaDju6A
Continue reading “Ini Kata Jurnalis TV Mengapa Harus Nyemplung Saat Liputan Banjir”
Banjir, Janganlah Kita Jadi Pandir
Sejak zaman kompeni sampai Jokowi memerintah, banjir telah lama menjadi sahabat ibukota.
Saat hadir sebagai narasumber dialog Kompas Malam, pekan lalu, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo punya ide cerdas. Ia membawa koleksi Koran Kompas edisi lawas, yang memuat berita utama tentang banjir Jakarta di akhir 1960-an dan 1970-an.
Kompas edisi Sabtu 18 Maret 1967, misalnya. Di halaman muka memasang karikatur karya GM Sudarta, yang memaparkan kontradiksi “Djakarta” pada dua musim berbeda. Digambarkan di sisi kanan, saat musim panas, ibukota penuh dengan kegiatan perbaikan jalan dan kemacetan yang membawa polusi, sehingga dua pemakai jalan tak kuasa menahan asap buruk hasil pembakaran bahan bakar. Di sebelah kiri, musim hujan, jalan yang telah diperbaiki menjadi berlubang, dan genangan air membasahi separuh postur penduduk. Ada yang nyaman berenang, tapi ada juga yang stres mobilnya karam.