Rumah sakit yang dibangun di era kolonialisme Belanda menjadi salah satu bangunan terdampak bencana banjir bandang. Perlahan tapi pasti, mencoba bangkit sebagai fasilitas publik yang melayani 2,5 juta warga Garut.
GARUT– Sepasang pigura berisi cetakan slogan masih terpampang di ruang radiologi RSUD Dr. Slamet, Garut. Kertas berbingkai dengan judul ‘Garut Bangkit Garut Berprestasi’ bertuliskan visi-misi rumah sakit umum daerah yang berdiri sejak zaman penjajahan Belanda itu. Saat berkunjung meninjau keadaan RSUD Dr. Slamet, Kamis, 29 September 2016, Presiden Joko Widodo cukup lama berada di area ruang radiologi, sebagai salah satu titik terparah yang mengalami kerusakan akibat bencana banjir bandang luapan Sungai Cimanuk.
“Saat ini operasional rumah sakit baru sekitar 40 persen. Setengahnya juga belum,” kata Lingga Saputra, staf Hubungan Masyarakat RSUD Dr. Slamet. Rumah sakit rujukan utama yang terletak di pusat bisnis kota Garut ini memiliki daya tamping 568 tempat tidur di 21 ruang perawatan.
Total kerugian rumah sakit saat musibah banjir 20 September 2016 lalu diperkirakan sekitar Rp 50 miliar. “Kerugian paling besar dari kerusakan alat kedokteran serta infrastruktur. Saat itu hampir semua alat tidak berfungsi. Tapi setelah itu, ada perbaikan-perbaikan, sehingga jumlah kerugian bisa ditekan,” papar Maskut Farid, Direktur Utama RSUD Dr. Slamet.
Dalam kunjungannya, Presiden Jokowi meminta kepada Bupati Garut Rudy Gunawan agar mempertimbangkan opsi memindahkan rumah sakit daerah ke kawasan aman bencana. “Untuk rumah sakit masih dalam proses perhitungan, apakah akan dibangun yang sudah ada di sini, karena ini adalah daerah yang saya kira rawan bencana, ataukah akan direlokasi ke tempat yang lain,” kata Presiden Jokowi. Maklum, rumah sakit seluas 3 hektar ini terletak pada pertemuan Sungai Cimanuk dengan dua anak sungainya, Cikamiri dan Cipeujeuh. Akibat hujan deras Selasa malam hingga Rabu dini hari itu, ketiga sungai meluap berbarengan, membawa material lumpur dari hulu.
Rumah Sakit Daerah Garut diresmikan Gubernur Jenderal Dirk Fock dengan disaksikan Bupati Garoet R.A.A. Soeria Karta Legawa pada Maret 1922. Pendirian rumah sakit ini berdasarkan Besluit yang ditetapkan Gubernur Jenderal Dirk Fock dan Sekretaris Jenderal GR Erdfrink sebagai wakil Sri Ratu Wihelmina dari Kerajaan Belanda.
Sebenarnya, rencana pembangunan rumah sakit di Daerah Aliran Sungai Cimanuk sudah dicanangkan Bupati Karta Legawa sejak lama, karena hingga 1917 di Garut baru terdapat klinik darurat untuk Stadpolitie di Tjimanoek Rivier Weg (Jalan Cimanuk sekarang).
Namun, pada 1919 muncul petisi keberatan atas rencana pembangunan rumah sakit di daerah ini. Sebab, pembelian lahan melebihi kebutuhan dan harus membangun jembatan penghubung Cimanuk yang berimplikasi biaya besar. Diperingatkan juga risiko banjir di daerah rawa di sana, terutama karena lahan yang akan dibangun rumah sakit berada di pertemuan tiga sungai.
Dan, benar, pada Oktober 1920 terjadi banjir bandang. Koran De Preanger-bode memberitakan berturut-turut pada 25-26 Oktober 1920 berjudul ‘Hoejan deras jang melanda Garoet sehari semalam memboeat soengai Tjimanoek meloeap’. Diberitakan, areal pesawahan yang luas di cekungan Cimanuk terendam. Kolam-kolam ikan dan jembatan desa jebol. Ikan-ikan mati tertutup lumpur. Dilaporkan pula, banjir besar di kawasan itu pernah terjadi pada 20 tahun sebelumnya.
Namun, peringatan itu seperti tertelan zaman, terutama setelah keluarnya Besluit Nomor 10279 tanggal 19 Juli 1921 yang berisikan perintah untuk meningkatkan pembangunan di daerah Priangan. Maka, dibangunlah jalan, saluran air, pasar rakyat, lampu jalan, taman, lapangan, jembatan, serta rumah sakit umum (Algemen Zieken Huis) yang terbilang megah pada zaman itu.
Nama Rumah Sakit Umum dr. Slamet diambil dari nama dokter yang ikut berjuang memberantas wabah pes. Pada Maret 1930, wabah penyakit pes melanda Garut. Ribuan warga desa berjatuhan meninggal dunia diserang bakteri pes. Penyebabnya adalah banyaknya sarang tikus di rumah-rumah warga di kampung, yang terbuat dari dinding anyaman bambu (bilik) dengan lantai tanah dan atap dari ijuk, tempat yang cocok untuk tikus bersarang. Besarnya dampak wabah pes membuat Pemerintah Hindia Belanda menyatakan tatar Garoet sebagai daerah dalam keadaan ‘bencana nasional’. Dr. Slamet Atmosoediro selaku Kepala RSU, ditugaskan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai ketua tim pemberantasan penyakit pes. Saat menjalankan tugasnya itu, ia terkena pula penyakit pes sampai akhirnya meninggal dunia pada 11 Mei 1930.
Di tengah segala keterbatasan dan kerusakan pascabencana, kini para dokter, perawat, dan seluruh karyawan RSUD Dr. Slamet bersama menunjukkan spirit tak menyerah. Mereka bangkit kembali melayani masyarakat. Sebagaimana pendahulunya berjuang melayani rakyat hingga titik darah penghabisan.
seperti ditayangkan di http://ksp.go.id/tekad-tak-menyerah-rsud-dokter-slamet/