Siaran Pers, 1 Mei 2013
Kondisi kesejahteraan jurnalis dari tahun ke tahun tidak mengalami peningkatan signifikan. Kenaikan upah minimum kota, tidak diikuti oleh seluruh perusahaan media untuk menaikkan upah jurnalis, baik yang bekerja tetap, bekerja dengan kontrak, koresponden/stringer/kontributor atau yang bekerja tanpa kontrak sekalipun. Padahal, rata-rata inflasi Indonesia setiap tahunnya mencapai 5 persen.
Saat ini, masih banyak perusahaan media enggan memberikan perlindungan kesehatan kepada jurnalis dan keluarganya. Tidak ada asuransi, tidak ada tunjangan melahirkan bagi jurnalis perempuan, tunjangan hari tua, atau bonus tahunan pada jurnalis. Padahal banyak perusahaan yang meraup keuntungan.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat masih banyak perusahaan media berbasis di Jakarta yang mempekerjakan koresponden/kontributor/stringer di berbagai daerah, belum memberikan kesejahteraan berupa asuransi kesehatan, upah layak, tunjangan hari raya sesuai aturan, selain ketiadaan jenjang karir yang jelas.
Sebagian besar perusahaan media di Jakarta juga mempekerjakan koresponden atau kontributor/stringer tanpa kontrak, atau dengan kontrak jangka pendek, tanpa memberi kejelasan status dan upah layak. Seringkali, kontrak hanya berbentuk ‘ucapan’/lisan antara pemberi dan penerima pekerjaan.
Banyak perusahaan media mapan mempraktekkan eksploitasi perburuhan sambil menabrak Undang Undang Tenaga Kerja, tidak memenuhi standar upah layak dan kesejahteraan jurnalis, termasuk mengabaikan hak-hak dasar koresponden atau kontributor. Jikapun ada kontrak kerja pada umumnya bersifat sepihak dan hanya menguntungkan perusahaan.
Padahal, tanpa upah layak, mustahil jurnalis bisa bekerja secara profesional dan memproduksi karya jurnalistik yang berkualitas. Upah rendah dari perusahaan media membuat jurnalis mudah tergoda suap atau sogokan pihak luar. Akibat upah rendah, tidak sedikit jurnalis harus mencari pekerjaan lain dan pemasukan tambahan dengan bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pertumbuhan perusahaan media dan konglomerasi media yang dimiliki pengusaha sukses, tidak berbanding lurus dengan kenaikan upah layak. Masih banyak jurnalis dibayar di bawah standar upah minimum kota (UMK) yang ditetapkan oleh pemerintah.
Di luar rendahnya kesejahteraan, para jurnalis juga menghadapi hambatan dalam berorganisasi. Banyak perusahaan media, yang mapan sekalipun, menolak kehadiran Serikat Pekerja Jurnalis. Padahal Serikat Pekerja Media bertujuan membangun komunikasi dan relasi lebih baik dalam hubungan industrial. Serikat Pekerja juga memungkinkan mekanisme penyelesaian sengketa kasus perburuhan yang menguntungkan kedua pihak.
Kasus-kasus yang masih menjadi perhatian AJI adalah pemecatan sepihak sejumlah jurnalis di berbagai daerah. Di Jakarta, kasus Luviana dinonjobkan dan dipecat tanpa alasan oleh Metro TV. Di Semarang pemecatan tanpa alasan 12 jurnalis Harian Semarang setahun terakhir ini belum direspon perusahaan media. Ada pula kasus mundurnya jurnalis Antara Biro Gorontalo karena menolak tugas tambahan sebagai marketing atau pencari iklan untuk medianya.
Yang terbaru, laporan adanya ancaman PHK sepihak terhadap belasan jurnalis kontrak Harian Tribun Jateng, Solo. AJI juga melihat sejumlah perusahaan memilih melaporkan jurnalis ke pengadilan daripada memberikan pesangon yang dituntut jurnalis sesuai aturan yang berlaku. Bahkan, dibeberapa situs lokal daerah, banyak jurnalis yang di PHK tapi enggan melaporkan.
Hindari politisasi redaksi
Ketua Umum AJI Indonesia Eko Maryadi mengatakan selain masalah perburuhan, AJI meminta pengusaha media yang punya hubungan aktif maupun tidak dalam politik, untuk tidak menggunakan ruang redaksi untuk kepentingannya. Independensi ruang redaksi harus tetap dijaga. Jangan ada tekanan pada jurnalis memasuki tahun politik ini dan meminta perusahan media untuk tidak memberikan pekerjaan tambahan seperti mencari iklan politik pada jurnalis.
Selain itu, kata Eko, untuk menghindari konflik kepentingan, jurnalis aktif yang mencalonkan diri untuk menjadi anggota DPR/DPRD, agar cuti sementara dari pekerjaannya di jajaran redaksi. “Tidak masalah wartawan ngaleg karena itu hak politik sebagai warga negara. Asalkan, declare pada publik atau mundur dari jabatan redaksi untuk menghindari konflik kepentingan,” katanya.
Tuntutan AJI
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendesak perusahaan media agar memperhatikan kesejahteraan jurnalis secara adil dan proporsional dengan memberikan upah layak, beserta hak-hak dasar pekerja seperti layanan kesehatan, tunjangan hari tua, dan kontrak kerja atau jenjang karir yang jelas.
Perusahaan media hendaknya memberikan kejelasan status bagi kontributor atau koresponden daerah disertai jaminan kesejahteraan yang layak. Dalam kasus dimana koresponden belum bisa menjadi karyawan tetap, perusahaan wajib memberikan honor basis, asuransi kesehatan, klaim transportasi dan komunikasi, selain honor laporan jurnalistik yang manusiawi.
Sesuai mandat Kongres ke-8 AJI 2011, AJI berkewajiban terus mengampanyekan basic salary (honor dasar) kepada perusahaan media, khususnya bagi koresponden/kontributor. AJI mengusulkan agar jurnalis memperoleh upah di atas upah layak jurnalis yang sudah dirilisAJI Kota.
AJI meminta perusahaan media membangun iklim industrial yang sehat serta menghormati hak-hak pekerja. Jurnalis yang profesional dan karya yang baik dari jurnalis yang diupah dengan layak akan meningkatkan pendapatan perusahaan.
Jakarta, 1 Mei 2013
Ttd
Agustinus Eko Rahardjo Eko Maryadi
Koordinator Divisi Serikat Pekerja Ketua Umum AJI