Inilah saatnya bernyanyi, “Deutschland, Deutschland über alles, über alles in der Welt…”
* Tulisan ini dibuat awal Maret, dan dimuat di Majalah Cosmopolitan Men yang terbit akhir April 2013
Final Liga Champions 2012 di Allianz Arena, Munich, bak anomali bagi sepakbola indah. Bayangkan, juaranya adalah tim yang tidak dominan di lapangan. Pemenangnya milik mereka yang menciptakan peluang lebih minor. Ditambah lagi, kekalahan nan menyesakkan melalui tos-tosan adu kiper itu terjadi di depan 62.500 pasang mata penonton di stadion, yang kebetulan dihelat di markas salah satu tim finalis.
Bayern Munich menjadi tim pesakitan itu. Melancarkan 43 tembakan ke gawang, dengan 7 di antaranya berada di ruang sasaran, merupakan statistik yang tentu jauh lebih dahsyat dari Chelsea, yang melakoni 9 tendangan dan 3 di antaranya on target. Persentase penguasaaan bola tim asuhan Josef Heyncknes itu pun cukup mentereng, 56 persen dibanding 44 persen.
Tapi itulah sepakbola. Seperti belakangan dikatakan Jose Mourinho, “Football is like this. Independent of the decision, the best team lost.” Bayern Munich yang mencetak keunggulan lewat Thomas Mueller di menit ke-82, gagal memanfaatkan delapan menit tersisa. Didier Drogba menyengatkan kepalanya, dan memaksa pertandingan berlanjut setengah jam lagi. Gagal menambah angka di babak tambahan, lagi-lagi Chelsea mencuri kemenangan adu penalti, lewat drama setelah tertinggal terlebih dahulu.
Apakah Chelsea, tim yang dianggap mewarisi permainan bertahan negara asal sang pelatih Roberto di Matteo, tak layak jadi juara? Susah dijawab, meski banyak yang sempat memplesetkan julukan ‘The Blues’ menjadi ‘The Bus’, akibat aksi para pemain memarkir diri di muka area gawang. Bagaimanapun, di semifinal Chelsea mengalahkan sang petahana Barcelona. Sebelumnya, mereka juga melakukan langkah amat dramatis di babak 16 besar, menaklukkan Napoli 4-1, setelah di leg pertama ketinggalan 1-3.
Tahun lalu, saat semifinal mempertemukan empat tim terbaik, para pundit menebak Chelsea dan Munich akan tersungkur, serta membawa Barca vs Madrid ke puncak pentas Eropa. Bagi para penggila sepakbola, menonton El Clasico berkali-kali dalam setahun tidak akan pernah membosankan. Sama seperti mengunjungi Bali seribu kali dalam setiap kesempatan liburan. Selalu ada yang baru, menggairahkan, dan penuh kenangan indah. Faktanya, dua jagoan Liga BBVA tersungkur di empat besar, membuat pasar taruhan Glodok meraup rupiah, dolar, ditambah dompet dan arloji yang ditinggalkan begitu saja oleh mereka yang bangkrut bandar.
Tapi, lupakan kejayaan sepak bola defensif. Sepakbola yang menghalalkan segala cara demi meraih kemenangan sudah jadi cerita lalu. Liga Champions 2013, yang seperti dua tahun silam partai finalnya kembali dihelat di Stadion Wembley, London, membawa pencerahan bagi sepakbola menyerang. Setidaknya, sampai 8 besar, tim-tim yang survive menyatakan keberpihakannya pada sepakbola penuh atraksi. Nyaris tak ada slot bagi tim yang mengandalkan cara parkir bis dan truk gandeng demi mencari hasil imbang, yang dilanjutkan pada aksi untung-untungan penalti.
Era Inggris sudah habis?
Ada sebuah masa di mana negeri ratu begitu berkuasa di jagad bola Eropa. Tak perlu membolak-balik buku sejarah atau merunut wikipedia terlalu ke bawah. Kisahnya baru kemarin. Bukan di era saat Anda belum lahir, atau mungkin masih belajar merangkak, saat tim Inggris menjuarai enam PIala Champions berturut-turut dari 1977-1982.
Tak usah jauh menengok ke era keemasan Liverpool, Nottingham Forest dan Aston Villa itu. Kejayaan terbaru ini ada di dekade 2000-an. Diawali 2004-2005, saat dua tim Inggris berhadapan di semifinal, menegaskan perang antara ‘Si Merah’ melawan ‘Si Biru’. Terkenal dengan gol garis gawangnya Luis Garcia, musim ini menghantar Liverpool meraih piala kuping lebar kelimanya, melalui salah satu partai final paling dikenang zaman. Steven Gerrard dan kawan-kawan memaksa Paolo Maldini menangis, karena golnya di menit pertama tak cukup asa membawa I Rossoneri ke pesta besar seperti tergelar di Old Trafford dua tahun sebelumnya.
Episode setahun berikutnya, tim Inggris kembali masuk final, meski Arsenal harus melupakan realita mengukir nama di piala kebanggaan klub Eropa untuk kali pertamanya. Kartu merah Jens Lehman di menit ke-18 membuat skenario mengalahkan Barca menjadi berantakan.
Tak kalah dahsyat musim 2006-2007. Tiga tim Inggris mengepung semifinal. Meski ironisnya satu tim tersisa, AC Milan, itulah yang juara. Begitu dominannya utusan Liga Inggris, sampai-sampai final Piala FA antara Manchester United melawan Chelsea, yang digelar beberapa hari sebelum final UCL Milan melawan Liverpool, dijuluki sebagai partai perebutan tempat ketiga dan keempat Liga Champions.
Puncak segala superioritas itu terjadi pada 2008, saat 67.310 orang di Luzhniki Stadium Moskow menjadi saksi bertemunya Manchester United dan Chelsea di final Liga Champions. Dan, ‘tendangan terpeleset pisang’ John Terry terekam sebagai momen paling monumental, sekaligus membuat Roman Abramovich hampir saja menggantung lehernya di Lapangan Kremlin.
Sesudahnya, Inggris adalah sejarah. Meski dua kali menempatkan Manchester United sebagai finalis, dan dua-duanya membuat tangan Sir Alex bergetar-getar menyaksikan timnya dipermainkan Josep Guardiola. Kini saatnya menengok pada kekuasaan Bavaria, terutama Bayern Munich yang dalam tiga tahun terakhir dua kali masuk final. Kini mereka mencoba mengukuhkan supremasi Uber Alles bersama Borussia Dortmund. Saingannya tetap saja, duo Spanyol, Real Madrid dan Barcelona, yang mencoba menyamai pencapaian setahun lalu: setidaknya menembus empat besar.
Jermanlah negara yang tak kenal minder. Dalam diri mereka terkandung gen sebagai penguasa Eropa. Tentang tim nasionalnya pun, legenda lini belakang Paul Breitner pernah berucap, “Jerman sangat percaya diri, bahkan nyaris arogan. Biasanya dalam kondisi seperti ini, trofi akan datang. Karena tim-tim lawan mulai takut kepada kami.”
Semangat tim nasional, Die Mannschaft, mulai menunjukkan julukan lawas mereka sebagai tim diesel yang telat panas. Jerman era kini adalah Jerman yang terus menyerang sejak menit awal. Demikian pula keindahan cara bermain klub-klubnya, sebagaimana Dortmund membuat pemain Shaktar Donetsk seperti baru belajar bola. Atau bagaimana pencinta mati Arsenal keluar dari Stadion Emirates seperti pasangan kekasih yang benar-benar PHP setelah putus nyambung putus nyambung 18 kali.
Inilah saatnya Jerman, inilah saatnya kembali ke sepakbola yang membuat Anda tak berkedip selama 90 menit. Dan, jangan pernah berharap taruhan Anda akan dibatalkan karena pertandingan harus berakhir dengan tos-tosan….
—-
Box pemain pilihan
MEREKA YANG MEREKAH
TONI KROOS – BAYERN MUNICH
Lahir di Greifswald, Jerman Timur, inilah wajah khas sepak bola orang Jerman: keras, kokoh, dan pantang menyerah. Attacking midfileder ini lahir dari keluarga pencinta bola, kakak dari bek tengah Werder Bremen Felix Kroos. Sementara ayahnya, Roland Kroos, tercatat sebagai pelatih tim junior Hansa Rostock.
Cinta akan si kulit bundar membuat Kroos sempat kehilangan 40 hari masa belajarnya di sekolah. Latihan, latihan, dan latihan bola, itulah agenda masa SMA Toni. Kerja keras di masa lalu kini membuat pelatih timnas Jerman Joachim Low tak bisa mendeskripsikan banyak kata untuk melukiskan sosok Toni Kroos kecuali berucap, “He’s technically excellent.”
—
MARIO GOTZE – BORUSSIA DORTMUND
Golnya dalam babak 16 besar melawan Shakhtar Donetsk benar-benar perpaduan antara kecepatan, akurasi, dan sikap oportunis nan tinggi. Berlari kencang ke tengah memanfaatkan umpang silang Robert Lewandowski, Mario lalu mencocor bola di tengah jepitan dua bek. Hitung-hitungan ketepatan momen Gotze seakan menunjukkan ia memang putera Jurgen Gotze, pakar informasi dan prosesing sinyal dari Dortmund University of Technology.
Legenda Jerman Timur, Matthias Sammer tak segan menggelari pria 23 tahun ini sebagai, “One of the best talents that we’ve ever had.” Tim Panser beruntung memilikinya, apalagi melihat duetnya bersama Marco Reus, yang dinilai Kaisar Beckenbauer sebagai “duo klasik yang tak ada tandingannya dalam hal kesuburan.”
—
JORDI ALBA – BARCELONA
Bicara Barcelona tanpa Lionel Messi, ibarat bicara Rolling Stones tanpa Mick Jagger atau Noah tanpa Ariel. Tapi, sebuah grup orkestra tidak hanya terdiri dari seorang konduktor atau pemain alat musik major. Begitu pula Barca, di saat orang mengidentikkan Blaugrana dengan Messi, Iniesta, dan Xavi, jangan lupakan Jordi Alba Ramos. Pria Catalan 23 tahun inilah yang memperlengkapi tangisan meraung-raung para Milanisti di leg kedua perdelapanfinal.
Posisinya boleh ada di belakang kiri. Tapi, penetrasi dan tusukannya saat maju sebagai sayap, kadang bertik-tak dengan Messi atau Alexis Sanchez, paling bisa membuat jantung penjaga gawang lawan hampir copot. Mengawali karir di klub junior Barcelona, Alba sempat dilepas ke beberapa klub, temasuk ke ‘tim kelelawar hitam’. Valencia.
“Kemenangan melawan Milan amat vital bagi kami sebab ada banyak hal yang dipertaruhkan. Kami brilian dalam menyerang dan juga bertahan. Dan kami melihat, inilah Barca yang sesungguhnya,” kata pemilik tinggi badan 170 cm itu,
—
PROFIL CONTRIBUTORS
Jojo Raharjo
Pekerjaan sehari-harinya produser dialog di Kompas TV, tapi seandainya dapat terlahir kembali, cita-cita dan ruhnya tetap: ingin jadi jurnalis olahraga yang bisa meliput 5 kali Piala Dunia, 3 kali Olimpiade dan beberapa kali final pertandingan sepakbola paling ditunggu. Ayah sepasang anak dari seorang isteri, kadang bercicit lewat jojoraharjo_com, terutama saat klub kesayangannya, Liverpool FC, sedang beraksi.
Nice post. I became reviewing continually this web site that i’m impressed! Very beneficial data particularly the very last aspect 🙂 My spouse and i keep like facts a good deal. I became seeking the following certain facts for just a quite a while. Many thanks and also connected with luck pasar taruhan bola.