Di Balik Layar Debat Kandidat ‘Menuju Jateng Satu’

Sebuah ungkapan terkenal di Liga Inggris, “No one is bigger than the team”.

Panggung Debat Kandidat Menuju Jateng Satu. Mengedepankan unsur 'show'. (Foto: Tempo, twitter)
Panggung Debat Kandidat Menuju Jateng Satu. Mengedepankan unsur ‘show’. (Foto: Tempo, twitter)

Thank’s to The God Almighty. Sukses sudah perhelatan Debat Kandidat “Menuju Jateng Satu”, yang dipentaskan Kompas TV bekerjasama dengan KPU Provinsi Jawa Tengah di Auditorium Prof Sudarto Universitas Diponegoro, Tembalang, Semarang, Selasa (14/5).

Tak banyak yang tahu, di balik 130 menit debat yang disiarkan langsung televisi ini, banyak keriuhan di dalamnya. Itulah bedanya nonton di televisi, dibandingkan nonton live di lokasi.

Suara panik produser, protes tim sukses, sampai teriakan floor director menenangkan para penonton tak akan terlihat di pesawat tv anda.  Tapi demikianlah prinsip kerja di televisi, biarlah yang kelihatan di layar yang indah-indah semata. Urusan ribut dalam persiapan, itu urusan dapur, dan mereka yang kebetulan hadir di ruang masak kami. Jutaan pemirsa di layar kaca adalah user utama kami, yang tak perlu tahu bagaimana hidangan disajikan dengan penuh kerepotan.  Dan, terimakasih, kalau banyak yang bilang, sajian yang kami suguhkan memuaskan.

Tak ada gading yang tak retak, tiada tuyul yang tak botak, tiada bisul yang tak bengkak. Tentu saja, pentas Debat Kandidat ‘Menuju Jateng Satu’ masih jauh dari sempurna. Tapi setidaknya, bisa menghadirkan acara ini sesuai rencana pun sudah sebuah mujizat. “Ada sebuah kendala teknis besar, yang hampir saja membuat debat ini tak bisa disiarkan live,” kata Pemimpin Redaksi  Kompas TV Taufik H Mihardja saat memberikan sambutan suksesnya acara. Bahkan, tak banyak kru yang tahu adanya kendala tak terduga itu.

Semua cara, segala back-up plan dilakukan, ketika problem dahsyat ini terjadi. Hingga detik-detik akhir, belum ada solusi. Tapi, orang Jawa Tengah bilang, “Gusti Allah Mboten Sare”. Pertolongan itu tiba pada waktunya, dan, terbukalah jalan bagi mereka yang sejak awal berangkat dengan niat baik.

Not just debate, it’s a show

Duo host Ratna Dumila dan Timothy Marbun. Bicara politik tak harus tegang.
Duo host Ratna Dumila dan Timothy Marbun. Bicara politik tak harus tegang.

Kompas TV menahbiskan diri sebagai ‘News and Lifestyle Television’. Benar kami menaruh perhatian besar pada unsur berita (news), tapi kami tak lupa juga memberi penekanan pada sisi kemasan, bagaimana sebuah program berita dibungkus dengan apik, sehingga menjadikannya sebagai sebuah gaya hidup. Sesuai tagline besar Kompas TV, membuat setiap tayangan menginspirasi Indonesia.

Ini bukan debat pertama calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah 2013-2018. TV One terlebih dahulu mengawalinya, Jum’at (10/5) silam. Tentu dengan menghadirkan rivalitas yang sama, pasangan nomor 1 Hadi Prabowo-Don Murdono,  nomor 2 Bibit Waluyo-Sudijono Sastroadtmodjo dan nomor 3 Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko.

Untuk panelis, semacam penguji kandidat, kami mencoba menampilkan dalam gaya khusus.  Memang tak beda dengan TV One, tetap memakai komposisi: satu  pengamat lokal dan satu pakar nasional. Prof FX Sugiyanto, guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro, kami pilih karena kritis, netral, dan solutif dalam persoalan ekonomi. Sementara Jaya Suprana, pencetus kelirumologi yang sebagian besar kuku bisnisnya ditancapkan di Jawa Tengah, kami undang karena gayanya yang kadang mirip sebagai “drunken master”.  Lucu, ngawur, tapi juga berisi dan tak ada yang berani menyalahkannya. Salah satu determinan kartu pembeda dalam pertunjukan ini dipegang Jaya Suprana.

Unsur pembeda lain ada pada sisi ‘show’, berupa porsi lebih pada aspek budaya. Kami bawa Wisben Antoro, comic jebolan Stand Up Comedy yang menghibur penonton di sela off-air. Juga ada Woro, penyanyi dan dalang cilik yang melejit lewat program ‘Di Atas Rata-Rata’ kerjasama Erwin-Gita Gutawa dan Kompas TV. Tak lupa, sri panggung malam itu, Sruti Respati, pesinden serba bisa asal Solo, puteri pasangan (alm.) pedalang Sri Joko Rahadjo dan penari Sri Maryati.

Ada juga masukan yang mengkritik, mengapa ada sesi khusus ala cerdas-cermat, memberi pertanyaan kandidat tentang ‘trivia Jawa Tengah’, laksana Helmy Yahya menguji tamunya dalam kuis Versus? Di situlah lagi-lagi pentingnya sebuah ‘show’, agar perhelatan politik tak harus dibuat stres. Karena calon gubernur dan cawagub juga manusia.  Kadang di antara kesibukannya berkampanye dan memelototi urusan politik, mereka malah lupa, apa nama kuliner khas dari sebuah daerah tertentu di wilayahnya.

Lihatlah saat di sesi yang dimaksud sebagai ‘cooling down’ ini, sebuah pertanyaan dilempar oleh  Jaya Suprana, si pendekar mabuk itu. “Candi Prambanan ada di Jawa Tengah. Siapa pendiri Candi Prambanan, dan  kapan candi itu dibangun?” Salah satu pasangan kandidat mencoba serius menjawab. Tapi saat duo host Timothy Marbun dan Ratna Dumila menanyakan jawaban sebenarnya pada Jaya Suprana, sang pelopor Museum Rekor Indonesia itu enteng menukas, “Lha  saya juga tidak tahu. Kan saya bertanya, kok malah jadi balik bertanya ke saya?” Grrrrr… but nobody would dare to blame him.

Sebuah siaran politik televisi tidak harus membuat penontonnya berkerut kening. Biarlah masyarakat mendesakralisasi  makna tayangan politik itu. Bagaimanapun, mereka sudah cukup muak melihat baliho dan aneka propaganda kampanye bertebaran menyesaki mata, sementara janji dan tekad sering terlupa usai sang kandidat terpilih sebagai jawara.

Mohon maaf untuk kekurangan yang ada. Tapi juga terimakasih untuk semua apresiasi. Apa yang kami lakukan hanyalah mencoba melakukan edukasi politik. Dan ini adalah kesuksesan semua, karena, seperti sebuah klub Inggris berkata, “No one is bigger than the club”, maka Kompas TV pun berprinsip, “No one is bigger than the team”.

Salam inspirasi, dari sebuah warnet di Jl Thamrin, Semarang, Rabu dini hari

Leave a Reply

Your email address will not be published.