Sudahkah Kita & Pekerjaan Kita Terlindungi?

Wartawan sangat kritis memberitakan rendahnya upah buruh, atau tak terpenuhinya hak-hak para pekerja. Tapi sudahkah para jurnalis itu sendiri merasa terproteksi?

Workshop jurnalis BPJS. Sudahkah kita bekerja dengan tenang?
Workshop jurnalis BPJS. Sudahkah kita bekerja dengan tenang?

Implementasi Undang-Undang Nomer 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tinggal hitungan hari lagi. Mulai 1 Januari 2014, berlaku sistem perlindungan kesehatan bagi masyarakat Indonesia, yang pada pelaksanaannya akan dilakukan oleh BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan. Untuk bidang tenaga kerja, PT Jamsostek akan bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan yang menangani program kecelakaan kerja –rawat jalan dan rawat inap, program jaminan hari tua, program pensiun, dan program kematian. Sementara untuk bidang kesehatan, PT Askes ditingkatkan fungsinya menjadi BPJS Kesehatan yang menangani program jaminan kesehatan. Tapi, sudahkah masyarakat paham tentang BPJS ini?

Menyosialisasikan “Bagaimana BPJS Bekerja?” menjadi tema lokakarya Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bekerjasama dengan Friedrich Ebert Stiftung (FES), Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, dan Dewan Jaminan Sosial Nasional.  Menjadi penting untuk menyampaikan informasi BPJS ke kalangan jurnalis –selain agar dapat disebarluaskan ke masyarakat, juga agar menjadi perhatian bagi jurnalis sendiri. Jurnalsi kerap tak terlindungi jaminan kesehatan, padahal tugas pekerjaannya di wilayah kerja yang cukup rentan.

Serial lokakarya sosialisasi BPJS, digelar AJI 3 pekan berturut-turut yakni 6-7 Desember di Mataram, 13-14 Desember di Jambi, dan 20-21 Desember di Pontianak. “Rata-rata orang Indonesia belum paham gunanya asuransi. Asuransi dilihat sebagai beban,” kata Dinna Wisnu, penulis buku “Politik Sistem Jaminan Sosial”. Selain Dinna, pembicara lain lokakarya ini: Adang Setiana dan Djoko Sungkono (anggota DJSN), Asih Putri (LSM Martabat), dan juga pejabat Jamsostek maupun Askes setempat.

Achiruddin, dari kantor Jamsostek Jambi menyatakan, budaya melindungi diri sendiri di Indonesia belum terasa, apalagi, asuransi bukan menjadi sebuah kewajiban. “Lain dengan Singapura, misalnya. Di sana ada potongan wajib 2 persen dari pendapatan. Tak aneh, seorang sopir taksi, begitu pensiun, langsung kaya raya. Jadi tauke di Bandung, atau Batam,” ungkapnya.

Sebelumnya, pada peringatan HUT ke-19 AJI, Agustus 2013, AJI telah menandatangani persetujuan dengan Jamsostek, agar anggota AJI di Indonesia dapat menjadi peserta Jamsostek, demi mendapat perlindungan dalam pekerjaannya, khususnya bagi para koresponden atau kontributor. “Mungkin awalnya premi peserta dibayar sendiri oleh koresponden atau contributor, tapi kampanye beriktunya, premi itu harus dibayar oleh kantor,” kata Jojo Raharjo, koordinator Divisi Serikat Pekerja AJI Indonesia. Kini, keikutsertaan program Jamsostek telah diikuti antara lain oleh AJI Kota Banda Aceh, Yogyakarta, Kediri dan Bandung.

Selain memberikan pelatihan dan diskusi, panitia lokakarya memilih 5 jurnalis dengan usulan terbaik peliputan tema BPJS, untuk mendapatkan beasiswa peliputan. Dari lokakarya di Jambi terpilih Arjuna Nusantara (Viva.co), Kristiawan (Alam Sumatera), Nurul Fahmy (Antara), serta Suci Rahayu dan Andika Arnoldi (Tribun Jambi). Mereka mengangkat berbagai topik, misalnya potret pengemis hidrocepalus yang setiap hari mencari belas kasihan di Jambi, potret pelayanan kesehatan Suku Anak Dalam, maupun kondisi pelayanan primer macam Puskesmas dan klinik, yang terlalu mudah memberikan rujukan kepada rumah sakit provinsi.

Leave a Reply

Your email address will not be published.