Waktunya mepet, tiga hari jelang masa kampanye ditutup dan memasuki tiga hari tenang, PDI-Perjuangan akhirnya meluncurkan iklan pemenangan pemilu dengan melibatkan capresnya: sang gubernur kerempeng.
Analisis politik dan pendiri Sugeng Sarjadi Syndicate, Sukardi Rinakit, menulis dengan renyah di Harian Kompas, 1 April lalu. Dalam kolom bertajuk ‘Indonesia, Nirwani Dunia’ itu, Sukardi mengkritik pariwara kampanye PDI-P yang tak menyertakan jualan utama mereka: Joko Widodo.
[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=xKvlfat-Tkg]
“Iklan politik yang dilansir PDI-P dengan tagline Indonesia Hebat sayangnya tidak memasukkan Jokowi di dalamnya. Secara hipotesis ini membuat sebagian masyarakat tidak mengerti bahwa agar Jokowi menjadi presiden, mereka harus memilih PDI-P. Akibatnya, pemilih banyak yang termakan kampanye partai lain yang terus-menerus meneriakkan bahwa apa pun partainya presidennya Jokowi.
Apabila situasi tersebut tetap berlangsung sampai masa kampanye berakhir dan tidak ada upaya PDI-P membangun narasi mengenai kemanunggalan Jokowi dan PDI-P di hari-hari terakhir masa kampanye, secara prediktif orang bisa salah pilih. Mereka akan memilih partai apa saja dengan asumsi presidennya nanti pasti Jokowi.
Itu bisa menurunkan perolehan PDI-P dari sekitar 27 persen, menurut hasil survei, menjadi 22 persen. Sebaliknya, jika pada hari-hari terakhir masa kampanye ada gebrakan dari PDI-P dengan menyatukan ”PDI-P dan Jokowi”, suara partai diduga akan melonjak menembus angka 30 persen.”
Kebetulan atau tidak, PDI Perjuangan mencium masukan ini. Tiga hari terakhir jelang masa kampanye ditutup, muncul iklan yang menampilkan Jokowi sebagai aktor utamanya. Poinnya sederhana, Jokowi menegaskan dirinya siap melaksanakan mandat sebagai capres PDI-P, dan ajakan datang ke tempat pemungutan suara mencoblos nomor 4, diakhiri permintaan, “Jangan golput!”.
Merdeka memberitakan, pengambilan gambar untuk iklan yang amat sederhana namun maknanya dalam itu dilakukan di rumah Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri, di Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. Tanpa artis, tanpa sound effect maupun editing visual nan menggelegar, propaganda PDI-P yang diputar di ‘injury time’ masa kampanye seperti menegaskan, betapa partai banteng moncong putih memandang serius faktor Jokowi sebagai determinan perolehan suara pile
Beda dengan Pilgub Jakarta
[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=uGoo9IykZ9g]
Melongok ke belakang, penampilan Jokowi di iklan pileg PDI-P berbeda sekali dengan iklannya sebagai cagub Jakarta bersama cawagub Basuki ‘Ahok’ Purnama, dua tahun silam. Saat itu, TVC pasangan ini amat wah, juga dibuat untuk segmen khusus menggaet kalangan anak muda yang berencana golput, atau memilih ‘status quo’. Karena itu tagline yang digemborkan adalah, “Selamat tinggal yang lama,inilah saatnya Jakarta Baru, Harapan Baru, Wajah Baru…” Efektif, Jokowi menang dalam pertarungan dua ronde melawan gubernur petahana Fauzi Bowo dan penantang-penantang lainnya.
Kasusnya memang berbeda. Jokowi pada pilgub DKI belum banyak dikenal warga Jakarta. Siapa orang Solo ini? Siapa pula wakilnya dari Belitung, yang tak juga tampak menonjol dalam perannya sebagai legislator di parlemen. Maka, iklan dibuat secara massif, selain untuk mempersuasi orang agar memilih mereka, tapi juga pertama-tama memperkenalkan sosok-sosok ‘harapan baru’ ini. Kini, Jokowi sudah banyak dikenal publik, dari Aceh sampai Papua. Terpaan media, mainstream maupun med-sos, melambungkan nama tukang mebel yang memperkenalkan cara blusukan sebagai konsep pemimpin dekat dengan rakyat ini.
Jauh sebelum PDI Perjuangan mendeklarasikan Jokowi sebagai calon presiden, seorang pengamat politik menyatakan, partai yang mencap diri sebagai miliknya ‘wong cilik’ itu bakal menjadi juara pemilu 2014, mengulang kesuksesan mereka pada 1999. “Persoalannya, mereka mau menang aja atau mau menang banget? Kalau mau menang banget, ya harus pakai Jokowi sejak pileg,” katanya.
Benarkah iklan nan sederhana yang mengedepankan sosok sang capres ini bisa membuat PDI-P menang banget-banget? Tak sekadar meraup 20 persen kursi DPR atau memperoleh minimal 25 persen suara nasional sebagai ‘boarding pass’ pencalonan presiden, tapi bisa jauh melebihi angka psikologis itu…
Suka sama iklan-iklan PDIP…*tes komen*
@Dian E. Suryaman…. hehehehe… liat aja 9 April, efektifkah melewati 25 persen suara…