Amalta menunjukkan perkembangan luar biasa dalam liputan livenya. Sayang, masih menampilkan show yang berbeda serta menarik.
Ada kesan yang berbeda saat menyaksikan laporan live Amalta Rifani Dyandra saat liputan kampanye dengan stand-up livenya di tengah aksi ‘May Day’ 2014. Saat berdiri on-cam liputan kampanye Partai Gerindra di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Amalta terkesan masih terlalu cepat bicara, dan harus menyesuaikan diri antara catatan yang menjadi guideline-nya dengan tempo bicaranya bercampur sedikit cadel.
Beda saat tampil di Jalan Sudirman di depan massa peserta aksi Hari Buruh Sedunia. Amalta lebih rileks, segar, dan bisa mengatur irama bicara. Apalagi tugas Ujian Akhir Semester (UAS) memang berbeda dengan UTS. Dibentuk berupa paket, diiringi visual gambar yang lebih kaya, paket liputan Amalta nampak lebih hidup. Matanya yang fokus dan bicaranya yang teratur menjadi kekuatan tersendiri.
Beberapa kelemahannya, sama saja. Amalta kurang bisa mengemas show yang menarik. Selain kedua liputan sama-sama tak ada wawancara dengan narasumber (peserta aksi atau petugas keamanan), juga tak ada ‘variasi’ lain yang bisa membuat shownya lebih memiliki daya tarik tersendiri. Show nya akan lebih keren, misalnya jika ia membaur dengan pengunjuk rasa, tampi di tengah aksi teatrikal, atau di posisi lain yang bisa membuatnya tampak tak berjarak dengan event itu sendiri.
Selain itu, Amalta mengakhiri liputannya bak ‘template’. Di dua peristiwa itu –kampanye dan May Day, ia mengakhiri dengan kata “Sekian berita dan laporan dari saya. Kembali ke studio”. Cobalah mencari kata lain selain, “Sekian”.
Catatan lain, yakni akurasi dalam paket berita. Dalam CG ia menulis namanya ‘Dyanda’ bukan Dyandra. Bagaimana mungkin menulis nama sendiri saja salah? Soal lokasi, Amalta menyatakan posisi dirinya berdiri ada di Jalan Sudirman. Padahal, dari latar lokasinya, Gedung Plaza Indonesia dan Kedutaan Besar Jepang, itu ada di Jalan MH Thamrin. Batas antara Jl. Thamrin dan Sudirman ada di Bundaran Hotel Indonesia. Perhatikan hal-hal detail seperti itu.
Proses liputan
Pengalaman meliput Hari Buruh menyisakan kenangan mengasyikkan bagi Amalta. Terutama saat menyaksikan buruh berbaris rapi dan berjalan mengikuti perintah komandan mereka saat melakukan aksi long march. “Hal inilah yang mempermudah saya mengambil gambar untuk liputan. Setiap momen yang diciptakan di sepanjang Jalan Sudirman bisa dijadikan unsur berita sehingga saya tidak kehabisan ide,” ungkapnya.
Saat peliputan, Amalta membawa kamera SLR canon, tripod, catatan, recorder, dan microphone. “Segala hal saya persiapkan guna menghindari kesalahan dalam peliputan UTS kemarin,” jelasnya. Namun microphone yang dibawanya ternyata malah menjadi kendala tersendiri. Bentuk adaptor yang akan digunakan sebagai penyambung antra mic dan kamera tidak bisa masuk sepenuhnya. Hal ini membuat suara dikamera tidak jernih. Bahkan untuk mendapatkan suara, kabel mic harus terus dijaga dan dipegang agar statis. “Saya pun memutuskan hanya menggunakan recorder seperti liputan-liputan sebelumnya,” kisahnya tentang kendala teknis itu. Meskipun tidak sesuai dengan recana awal, Amalta tetap berjuang untuk membuat liputan yang menarik.