Kekuatan liputan ini ada pada gambarnya yang sangat cerah dan angle liputannya.
Di antara berbagai peserta aksi unjuk rasa di May Day, Nesya mengambil angle menarik, yakni para jurnalis yang beraksi. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) beraksi dengan membawa sepatu raksasa bertuliskan, “Jurnalis Bukan Jurkam”.
[youtube=http://www.youtube.com/watch?v=HgKnn0khhW4]
Menurut Sekjen AJI Suwarjono, simbol sepatu dipakai sebagai tanda peringatan agar jurnalis tidak diinjak-injak pemilik modal yang menggunakan medianya untuk kepentingan mereka. “Media harus tetap kredibel dan independen, tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik. Pemilik media tak boleh menggunakan medianya dengan semau-semuanya sendiri untuk berkampanye,” kata Jono.
Jono melanjutkan, pemimpin media harus memperhatikan nasib dan kesejahteraan jurnalis. Karena bagaimanapun jurnalis juga masuk dalam kategori buruh. “Selain itu, kami mendesak agar pemerintahan baru menuntaskan kasus-kasus kekerasan terhadap wartawan, terutama 8 kematian jurnalis,” ungkapnya.
Kesan peliputan
Nesya memiliki kesan mendalam saat di tengah keraguan mewawancarai aktivis AJI. Apalagi, mereka mengajak Nesya dan kawan-kawan bergabung di tempat AJI sedang menyuarakan hak-nya sebagai warga negara. Namun, Nesya berbisik menjawab, “Malu ah Mas, jangan disitu,”. Nesya bercerita, para jurnalis itu dengan sifat rendah hati dan tidak menilai rendah mahassiwa yang masih berstatus calon jurnalis menjawab, “Lho gak apa-apa, ayuk santai aja,”.
Saat itu juga keberanian Nesya sebagai calon jurnalis sudah merasuk ke tubuh dan berusaha dengan santai melakukan dialog singkat dengan Sekjen AJI. “Empat menit berlalu kami melakukan dialog singkat perihal bergantinya simbol AJI dari merpati menjadi sepatu, tuntutan dari AJI yang akan disuarakan kepada pemerintah, optimiskah aspirasi mereka akan di engar, dan terakhir harapan untuk pemerintah yang akan segera berganti Oktober mendatang,” paparnya.
Nesya mengaku, hal yang membuatnya sangat gembira ketika memutuskan untuk meninggalkan Bundaran HI yang mulai nampak sepi, ia melihat Jono tengah diwawancarai tim Trans Tv. “Rasanya seperti saya dengan tim Trans Tv itu berdampingan karena mendapat narasumber yang sama,” tukasnya bangga.
Kendala yang dialami yaitu ketika Nsya harus membuat pertanyaan dengan minimnya pengetahuan tentang aksi demo buruh dan banyaknya jumlah perwakilan kaum buruh di tingkat nasional. Selain itu, harus berkonsentrasi menarik pembicaraan kepada narasumber dengan suasana yang sangat campur aduk. Di sisi kanan ada kelompok yang menyuarakan tentang hak wanita, dan di sisi kiri bersuara untuk menghapus outsourcing di tambah lagi dari sudut depan dan belakang yang mengantri untuk berjalan menuju beberapa titik tempat berdemo.
Dengan alat yang seadanya tanpa meminjam dari fasilitas kampus, mereka hanya menggunakan dua kamera DSLR Nikon dan satu Ipod untuk merekam suara. Kamera satu untuk mengambil beberapa gambar dan untuk merekam proses dialog kami bertiga dengan narasumber masing-masing, lalu kamera dua berfokus untuk mencari gambar keseluruhan karena belajar dari pengalaman di mana baterai kamera tidak bertahan secara lama.
“Mata kuliah yang benar-benar memupuk pertemanan hingga tumbuh menjadi persahabatan yang semakin erat. Waktu yang telah terukir membuat kami semakin mengerti makna dari kerja sama meskipun tugas yang kami laksanakan adalah tugas individu,” urainya.