Pernyataan Tony Abbott adalah blunder politik yang susah dicari bagaimana formula pemaafnya.
Di suatu Minggu siang, awal 2007. Di sela-sela lima pekan tugas kerja di Queensland, seorang kawan mengajak main ke Brisbane. Di komplek perumahan nan asri –di Australia bentuk rumah satu dengan lainnya nyaris serupa- kami berkunjung ke rumah keluarga asal Indonesia. Mereka hijrah ke Aussie usai Kerusuhan Mei 1998 meletus. Dan, tak sampai sepuluh tahun kemudian, paspor pun berganti lambang.
http://www.youtube.com/watch?v=MUQazjr-UZ0
Saya bertanya ke si Om, apa alasannya melepas kewarganegaraan Indonesia. “Sederhana saja sih. Jadi orang Australia tuh, kalau hilang ada yang nyariin,” seloroh si Om. Simple, tapi penuh makna. Betapa bagi negara persemakmuran berpenduduk 23 juta jiwa itu, setiap kepala warganya memiliki value tersendiri.
Seloroh itu menemukan buktinya. Saat nyawa dua anggota kelompok ‘Bali Nine’ berada di ujung vonis mati, Pemerintah Australia mati-matian memperjuangkan warganya. ‘Bali Nine’ merupakan sebutan kepada sembilan warga Negara Australia yang ditangkap 17 April 2005 di Bali, dalam usaha menyelundupkan heroin seberat 8,2 kg dari Indonesia ke Australia. Lima di antara mereka ditangkap di Bandara Ngurah Rai, dan empat lain disergap di Hotel Melasti, Kuta, karena menyimpan 350 gram heroin siap untuk diselundupkan.
Sejak delapan tahun silam, dua di antara sindikat itu, Andrew Chan -disebut pihak kepolisian sebagai ‘godfather’ kelompok ini- dan Myuran Sukumaran mendapat penetapan hukuman mati dari Mahkamah Agung. Di masa-masa awal pemerintahan Jokowi inilah, kehidupan mereka bersiap disudahi, dalam eksekusi kloter kedua, setelah 18 Januari lalu Kejaksaan Agung serentak mengeksekusi 6 pesakitan di Nusakambangan dan Boyolali.
Blunder Abbott
17 Februari di Gold Coast Queensland, Anthony John Abbott, perdana menteri asal Partai Liberal, menunjukkan perhatian pada warga negaranya, sekalipun dengan cara yang menyinggung negara tetangga dekatnya. Dalam rencana menghukum mati dua warga Australia, Abbott mengingatkan, Indonesia seharusnya mengingat kebaikan dan ‘piutang’ Australia saat menyumbang 1 milyar dolar bagi korban tsunami Aceh, sepuluh tahun lalu.
“I would say to the Indonesian people and to the Indonesian government, we in Australia are always there to help you and we hope that you might reciprocate in this way at this time,” kata Abbott. Terkait Chan (31 tahun) dan Sukumaran (33), ia melanjutkan, “Perut saya sakit mengingat nasib dua orang muda Australia ini. Mereka layak berada lama di penjara, tapi tak pantas untuk mendapat hukuman mati.”
Pernyataan Abbott sontak dikecam warga Indonesia, dan terlebih rakyat Aceh. Respon sangar bahkan ditunjukkan dengan rencana mengumpulkan uang hampir 13 triliun rupiah untuk mengembalikan dana bantuan bagi tsunami satu dekade lampau. Di sela hari tanpa kendaraan bermotor di Jakarta, Koordinator Koalisi Pro Indonesia Andi ‘Ucok’ Sinulingga menggagas aksi #KoinuntukAustralia. Aksi pengumpulan koin dilakukan hingga Perdana Menteri Australia Tony Abbott meminta maaf langsung kepada warga Indonesia. “Sampai Tony Abbott minta maaf langsung, bukan diwakili oleh kemenlu-nya ya,” ujar Andi di Bundaran Hotel Indonesia, Minggu (22/2/2015).
Sementara di Aceh, Gerakan Pejuang Rumah Tsunami (GPRS), membuka lapak pelelangan batu giok (akik) di Meulaboh. Aksi penggalangan dana dari batu mulia yang kini sedang tenar dan incaran warga di Aceh dilakukan guna mengembalikan bantuan kemanusiaan yang pernah diberikan Pemerintah Australia untuk rakyat Aceh saat tsunami 2004. “Dana galangan dari lelang batu giok ini akan kami kirim sebagai bentuk pengembalian bantuan yang pernah Australia realisasikan,” kata kcoordinator aksi Edi Candra.
Dua kali berkunjung ke provinsi yang disebut sebagai daerah istimewa ini, satu di antaranya liputan pasca tsunami, terasa benar betapa kuatnya persahabatan dan kebaikan kawan-kawan Aceh. Mereka terkenal ramah, lembut, serta memiliki loyalitas dan militansi terhadap pimpinan. Tapi, jika mereka sampai tersinggung dan menyentuh harga diri, akibatnya bukan kepalang:
“Ureueng Aceh hanjeut teupèh, Meunyo ka teupèh, bu leubèh han geu peutaba, Meunyo hana teupèh, boh krèh jeut taraba…
Orang Aceh tak boleh tersinggung perasaannya, jika sudah tersinggung nasi lebih pun untuk kita takkan ditawarkannya. Namun sebaliknya, apapun akan mereka berikan jika tak menyinggung perasaan mereka…”