Nanggroe Aceh Darussalam
Radio Komuniitas Segera On Air di Aceh
Sabtu, 29 Januari 2005 | 12:22 WIB
TEMPO Interaktif, Banda Aceh: Mulai awal bulan depan, lima stasiun radio komunitas akan mengudara di berbagai lokasi bencana di Nanggroe Aceh Darussalam. Rencana itu disampaikan Mukhotib MD, pengurus bidang Capacity Building Combine Research Institute (CRI) sebuah ornop yang bergerak dalam penguatan 40 radio komunitas di Yogjakarta.
Menurut Mukhotib, radio-radio komunitas itu bakal memancarkan siaran di lima lokasi yakni di Seunoddon (Aceh Utara), Samalanga (Bireun), Lampeuneurut (Aceh Besar), Lamno (Aceh Jaya), dan Meulaboh (Aceh Barat). Saat ini, Mukhotib dan tiga rekannya sedang melakukan berbagai penilaian di daerah-daerah itu untuk menentukan lokasi. “Lokasi stasiun radio bakal berada di masjid, dayah (pesantren), posko pengungsi, atau tempat mana saja, yang penting tidak kehujanan,” katanya.
Bahkan, saat nanti para pengungsi sudah berpindah tempat tinggal mengikuti relokasi, radio itu pun bakal ikut ke tempat baru. “Kami juga tengah mencari dan melatih masing-masing tiga relawan local untuk setiap stasiun radio komunitas. Mereka akan bertugas sebagai operator, penyiar, dan reporter lapangan,” tambah bapak satu putra yang datang di Aceh sejak 13 Januari lalu ini.
Ia memperkirakan, untuk setiap stasiun radio membutuhkan dana Rp 5,5 juta untuk penyediaan peralatan yang langsung didatangkan sebanyak 2 truk bermuatan 1,3 ton dari Yogyakarta. Direncanakan, radio-radio ini akan mulai beroperasi pada awal Februari. “Begitu peralatan datang, dan di-set, hari itu juga bisa langsung siaran,” tandas alumnus Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga ini.
Untuk setiap stasiun radio komunitas bakal memiliki daya jangkau minimal 2,5 kilometer. Radio komunitas ini diharapkan dapat melakukan siaran dengan sentuhan lokal cukup kuat. Jam siarnya yang 8 jam sehari pun akan disesuaikan dengan aktivitas masyarakat di tempat itu. “Bagi yang mayoritas penduduknya nelayan, diharap dapat menjadi sarana komunikasi antara anggota keluarga di rumah dengan kepala keluarga yang ada di laut. Anak dan ibu bisa menyampaikan salam dan mengirim lagu untuk ayah yang sedang melaut, misalnya,” ungkap Mukhotib.
Ia menjelaskan, peralatan studio dan pemancar maupun radio penerima bakal dipasok berbagai lembaga. Mereka juga menjalin kerjasama dengan Amarc, jaringan radio komunitas internasional. “Di lokasi sulit, kami akan melengkapi reporter radio dengan telepon satelit,” ujarnya.
Dalam misi kemanusiaan pasca bencana alam, radio ini juga akan menyiarkan program pencarian orang hilang dengan menggunakan bantuan HT. Mukhotib mengumpamakan, para kerabat korban bencana yang tinggal di daerah lain bisa mengirim pertanyaan, “Apakah keluarga saya di Meulaboh masih selamat?” yang selanjutnya akan diteruskan ke stasiun radio komunitas di Meulaboh dengan bantuan HP.
Sarana yang sama bisa dilakukan untuk penyampaian informasi keterlambatan logistik bantuan pengungsi dan lain-lain.
Secara nasional, radio komunitas di Aceh ini juga bekerjasama dengan Kantor Berita Radio 68 H, yang memiliki jaringan di 400 stasiun radio di seluruh Indonesia. Berbeda dengan radio komersial, seperti Suara Aceh bentukan PRSSNI yang bakal tutup operasi setelah radio lokal berfungsi kembali, radio komunitas hadir untuk merancang program sesuai kebutuhan masyarakat. “Kami juga berharap bisa menyiarkan sistem peringatan dini kepada masarakat,” kata Mukhotib sembari mencontohkan masyarakat di Sabang dan Simeuleu yang selamat dari bencana karena memahami tradisi segera naik ke atas perbukitan begitu usai gempa besar dan laut kering tiba-tiba.
Jojo Raharjo
Ditayangkan di http://tempo.co.id/hg/nusa/sumatera/2005/01/29/brk,20050129-12,id.html