Di tengah kisruh sepak bola nasional berlarut-larut, di tengah tercabiknya kerukunan antar umat beragama, Cahaya dari Timur hadir membawa kedamaian.
http://www.youtube.com/watch?v=kJCGnUKj-C4
Sudah lama ingin menonton film terbaik Piala Citra 2014 ini, akhirnya kesampaian juga. Diangkat dari kisah nyata, Film Cahaya Dari Timur: Beta Maluku sejak awal mengambil pilihan untuk menghadirkan gambaran kondisi yang sebenarnya berdasarkan cerita nyata. Pendekatan sosial budaya dan akurasi fakta menjadi elemen penting dalam pengerjaan film yang tema utamanya ditegaskan dalam satu kalimat: merangkai persaudaraan -dalam konflik agama- lewat sepak bola.
Film berdurasi lebih dari dua jam setengah ini diawali dari pembacaan voice over di berita televisi terkait kerusuhan antar umat beragama di Ambon yang kian menjadi. Kerusuhan Ambon pada 1999 melahirkan jurang pemisah besar antara kelompok merah –Kristen- dan penduduk beragama Islam –kelompok putih. Digambarkan, tokoh utama film ini, Sani Tawainella (diperankan dengan dahsyat oleh Chicco Jericho sehingga menyabet Piala Citra Festival Film Indonesia 2014 sebagai aktor utama terbaik) terjebak saat hendak membeli tepung terigu. Ia dikepung sekelompok orang berkain merah yang dengan beringas menyerbu sembari bernyanyi ‘Maju Laskar Kristus’ dan juga arak-arakan berikat kepala putih mengacung-acungkan senjata tajam.
Bom. Lempar batu. Makian. Hymne. Sabetan Pedang. Api yang berkobar. Itulah pembukaan mencengangkan untuk film yang menghadirkan berbagai macam permasalahan di Indonesia Timur ini. Selain konflik agama, ada permasalahan kemiskinan sebagai akar konflik rumah tangga, kepentingan politik yang menjegal perkawanan, potret buruk pendidikan dasar, sampai susahnya mencari tempat berolahraga.
Dalam sepak bola, ada jawaban untuk semua. Sani, yang di usia muda gagal menembus tempat di timnas Baretti, semangat hidupnya kembali bergejolak demi bola. Ia melatih anak muda di Tulehu, demi satu tujuan awal: agar bocah-bocah itu memilih mengolah si kulit bundar, alih-alih menjadi penonton tawuran kelas berat yang kerap salah memangsa korban. Pada pertengahan film dikisahkan, karena Sani terlambat datang melatih, latihan bola bubar, anak-anak itu memilih menonton kerusuhan dan seorang ‘pemain bola’ di antaranya tersaput bom molotov.
Selain Sani si tukang ojek cum pelatih bola diperankan oleh Chicco, pelakon lain dalam film arahan Angga Dwimas Sasongko ini bermain amat ekselen. Logat Maluku terucap nyaris sempurna oleh Shafira Umm –menjadi isteri Sani, Abdurrahman Arif, Shafira Umm, hingga Jajang C. Noer, Frans Nendissa dan tentu saja Glenn Fredly, sang produser merangkap ‘orang PSSI’. Dialog ‘beta’ dan ‘ose’ mereka membuat film ini punya karakter sendiri.
Masjid dan gereja jadi mimbar siaran adu penalti
Maka, demi pengalih perhatian sebagai suporter kerusuhan, klub sepak bola anak baru gede itu pun terbentuk. Dengan segala dinamisasinya. Urusan pencitraan bola demi kepentingan politik, sisa dendam bocah yang ayahnya mati ditembak polisi saat rusuh, sampai tembus ke Jakarta membawa nama Maluku.
Cerita dahsyat mereka inilah yang kemudian mengantar Tulehu sebagai kampung sepak bola di Maluku. Kampung yang telah melahirkan Khairil ‘Pace’ Anwar Ohorella, Imran Nahumarury, Rahel Tuasalamony, Aji Lestaluhu, serta tiga pilar timnas masa kini yang masa kecilnya ada di film ini: Alfin Ismail Tuasalamony, Rizky Ahmad Sanjaya Pellu dan Hendra Adi Bayauw.
Kisah bergulir saat digelar turnamen lokal yang di final mempertemukan tim asal Tulehu dan Passo, dua wilayah berbeda agama mayoritas. Lanjut ke turnamen nasional U-15 di Jakarta, dibentuklah tim gabungan dari dua kelompok besar, lintas kampung dan lintas iman. Dengan berdarah-darah, mereka berangkat ke ibukota, berdasar saweran warga, jual kambing yang mengoyak kisah rumah tangga, sampai kolekte gereja yang hanya menyumbang dua pemain dalam tim itu.
Di Jakarta, alih-alih jalan mulus jadi pemenang, tim terpecah lagi. Luka lama konflik muncul di antara pemain hingga sang nahkoda nyaris mutung. Hingga akhirnya, dengan motivasi yang ditinggikan, tim Maluku pun masuk final menantang provinsi tuan rumah. Skor imbang 1-1 di waktu normal memaksa pertandingan berlanjut adu penalti.
Saat tos-tosan inilah, siaran langsung TVRI disudahi. Penduduk bingung bagaimana mengikuti pertandingan secara real time. Beruntung, ada saudara jauh yang nonton langsung dan melaporkan detik-detik adu penalti lewat telepon seluler. Cara konvensional yang unik, menyedot warga untuk tahu dengan berdebar-debar, hingga –yang paling ‘brutal’- pendeta dari Passo menggunakan mimbarnya untuk menyampaikan langsung eksekusi nan menentukan. Kisah yang sama ada di masjid desa sebelah. Mengharukan, ketika umat beragama lain pun datang demi hasrat ingin juara. Meski ada kesalahan di film ini –saat menyebut penendang keempat yang seharusnya ketiga, ‘siaran langsung’ pak pendeta dan kiai menjadi puncak drama film amat touchy.
“Anak-anak Maluku memang semua basudara, anak-anak Maluku memang semua satu darah, anak-anak Maluku eh jangan-jangan buang waktu, anak-anak Maluku semua bisa jadi satu, mari katong sama-sama bangun Maluku e… anak Maluku harus baku sayange…” begitu lagu diputar di akhir cerita. Di film ini, sepak bola menjadi jawaban atas perbedaan.
Melihat perjuangan anak-anak muda itu –dan semua sama sekali bukan fiksi- maka perbedaan agama, status ekonomi, atau prinsip politik, seharusnya bukan lagi jadi masalah besar di negeri ini. Benar, bukan parlente. Itu sudah.