JAKARTA– Kualitas pemilihan umum yang baik akan terwujud melalui dukungan infrastruktur termasuk penggunaan teknologi informasi. Kesimpulan itu tercetus dalam pertemuan antara Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, International IDEA, dan Deputi IV Kantor Staf Presiden Eko Sulistyo, di Bina Graha, Senin, 19 September 2016.
“Indonesia akan menghadapi Pilkada Serentak 2017 dan Pemilu Raya, yakni pemilihan umum yang dilaksanakan berbarengan antara Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden, pada 2019. Kami berharap, penggunaan teknologi pemilu dapat mengalami kemajuan berarti, selan digunakan untuk tabulasi perolehan suara,” kata Eko, yang lama berkecimpung dalam lembaga pemantauan maupun penyelenggara pemilu.
Eko menjelaskan, Kantor Staf Presiden memiliki tugas memberikan dukungan terhadap kebijakan yang diambil presiden. Dalam konteks pemilu, KSP diminta memberikan input terkait persoalan pemilu kepada presiden. Ia memaparkan, KSP pernah mendapatkan undangan menyaksikan pemilu di Filipina untuk melihat penggunaan teknologi dalam membantu proses demokrasi di negara berpenduduk juta 101 jiwa itu. “Pemilu Indonesia ini sempat dijuluki sebagai pemilu yang paling rumit di dunia. Karena itu, dengan luasnya wilayah Indonesia yang beberapa kali lipat dari Filipina, akan lebih efektif jika ada perangkat teknologi yang membantu proses percepatan dan efisiensi pemilu di Indonesia,” ungkapnya.
Penggunaan teknologi dalam pemilu dapat dilakukan sejak proses administratif (registrasi), pelaksanaan (e-voting), maupun saat penghitungan suara dan penetapan pemenang pemilu. “Penggunaan teknologi juga harus dijelaskan kepada masyarakat, bahwa hak suaranya tidak dicurangi dan keterjaminan bahwa hak politiknya betul-betul dijaga kerahasiaannya,” tegas Eko.
Adhy Aman dari International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance) menegaskan bahwa anggota IDEA memiliki manifesto untuk saling berbagi pengalaman dalam penggunaan teknologi pemilu. “Indonesia merupakan negara anggota IDEA, dan jika diperlukan IDEA bersedia memberi bantuan terkait kebijakan yang akan diambil dalam pemilu,” katanya. Adhy menjelaskan, saat ini Ketua IDEA dijabat oleh Mongolia.
Tamir Zorigt, anggota KPU Monglolia berbagi kisah bahwa negaranya menggunakan teknologi sejak pemilu 2012. “Mongolia menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk pendaftaran pemilih, pendaftaran kandidat, serta tabulasi hasil pemilu,” urainya.
Penegasan juga disampaikan Peter Wolf dari International IDEA, yang menekankan bahwa teknologi bisa meningkatkan transparansi dalam pemilu dan menyebabkan pemilu lebih kredibel. Sementara itu, Asisten Deputi IV KSP Wandy Tuturoong mengungkapkan karakter khas dari pemilu di Indonesia. “Proses pemungutan suara di TPS sangat unik sehingga tidak ingin diganti oleh teknologi. Salah satu hal positif adalah masyarakat berkumpul dan bersama menyaksikan penghitungan suara,” jelasnya.
Diskusi di KPU
Esok harinya, Selasa 20 September 2016 di Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), International IDEA, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan KPU menggelar diskusi membahas persoalan teknologi dalam pemilu. Diskusi bertopik ‘ICT in Elections: What Are Indonesia’s Needs?’ merupakan bagian dari agenda ICT Tech Tour yang dilakukan International IDEA ke beberapa negara Asia, termasuk Indonesia.
Komisioner Badan Pengawas Pemilu Nelson Simanjuntak berpendapat bahwa penggunaan teknologi informasi dalam pemilu akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan teknis demokrasi. Nelson Simanjuntak menguraikan bahwa pemilu di Indonesia telah menggunakan sedikitnya 9 jenis sistem teknologi informasi pada Pemilu 2014. Beberapa di antaranya yakni Sipol (Sistem Informasi Partai Politik), Sidapil (Sistem Informasi Daerah Pemilihan), Sidalih (Sistem Informasi Daftar Pemilih), Silon (Sistem Informasi Pencalonan), Silogdis (Sistem Informasi Logistik dan Distribusi), dan Situng (Sistem Informasi Penghitungan Suara). “Secara umum, penerapan teknologi informasi komunikasi itu mendapat sambutan baik dari para pemangku kepentingan pemilu,” kata Nelson.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini menggarisbawahi harus ada payung hukum dalam menggunakan teknologi informasi komunikasi pada pemilu. “Ada asas-asas yang perlu dipenuhi. Pihak yang bertanggung jawab harus melakukan feasibility study dan kita harus mencari teknologi yang memperkuat proses demokrasi,” kata Titi.
Salah satu pertanyaan dilontarkan oleh Binny Buchori dari Kantor Staf Kepresidenan yakni apakah penggunaan teknologi informasi komunikasi pada pemilu menambah atau mengurangi jumlah partisipasi dalam pemilu. Terkait hal ini, Peter Wolf menjawab bahwa setiap negara memiliki permasalahannya masing-masing, ada yang berkurang dan ada yang bertambah. “Teknologinya sendiri sebenarnya netral, bagaimana penggunaannya untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi merupakan hal terpenting yang dapat diambil pelajarannya,” kata Wolf.
seperti ditayangkan di http://ksp.go.id/meningkatkan-mutu-pemilu-melalui-teknologi-informasi/