Kekuatan karya ini ada pada visual-visualnya yang kaya dan kuat. Tentu masih ada kelemahan atau sisi minus. Misalnya, gaya presenter yang kurang luwes dan wardrobe reporter di lapangan.
Joseph Christhoper, Sigit Triantoro, Joshua Christian, Kevin Sumarlie, dan Farel Yendi, berlima mereka meliput May Day atau peringatan Hari Buruh 1 Mei 2017 di kawasan Thamrin hingga Medan Merdeka Barat. Bekerja keras demi project Ujian Akhir Semester mata kuliah Jurnalistik Televisi Universitas Multimedia Nusantara.
Hasilnya? Boleh juga. Kekuatan footage, belanjaan tim yang kaya menjadi sisi plus karya mereka. Komplet. Ada gambar buruh menyeberang, mengacungkan poster, long march, hingga footage pasukan polisi yang menjaga stabilitas keamanan di Jakarta saat pestanya para pekerja itu.
Acungan jempol menjadi makin teracung dengan melihat grafis karya mereka membandingkan upah minimal buruh dari berbagai daerah. Narasumber yang diwawancarai pun sangat berkelas: Presiden Dewan Eksekutif Nasional Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (DEN KSPI) Said Iqbal. Sayang, mungkin karena ada masalah dengan audio, tak ada soundbyte Said Iqbal yang keluar. Hanya wajahnya muncul dan menjadi latar dari paket dengan voice over dibawakan narator.
Problem lain ada pada gaya anchor Kevin yang tampak kaku. Belajarlah luwes. Termasuk juga dengan gaya tangan yang entah kenapa menjadi ‘trademark’ ngapurancang layaknya peserta koor. Penyebutan lokasi yang benar juga patut dikoreksi, yakni ‘Istana Merdeka’, bukan ‘Istana Negara’, karena Istana Negara ada di kawasan Veteran-Juanda, sedangkan Istana Merdeka menghadap ke kawasan Medan Merdeka Utara.
Masuk ke tim peliput. Sayang, Joshua yang tampil dua kali tidak mengenakan wardrobe atau busana yang proper Ia tak ubahnya seperti para pengunjukrasa atau buruh lainnya. Setidaknya, Joshua memakai baju berkerah agar menampilkan diri sebagai peliput yang enak dipandang di layar kaca.
Satu lagi, atas nama kesejajaran narasumber dengan jurnalis, hilangkan kata ‘Bapak’ saat menyapa ‘Bapak Sutarjo’ sebagai salah seorang partisipan aksi. Sebut langsung namanya, atau pakai kata ‘Anda’.
Tertantang jadi jurnalis
Joseph bercerita, ini merupakan kali kedua ia turun ke lapangan untuk melakukan liputan secara langsung di lokasi kejadian sangat menarik tetapi juga menantang. Hal itu karena liputan ini lebih kompleks dan besar cakupan, nilai berita dan massa di lapangan. “Bertemu dengan banyak wartawan senior membuat diri semakin tertantang untuk jadi seperti wartawan-wartawan itu dua tahun lagi,” tekadnya.
Menurut Joseph, wartawan senior itu cukup mobile dan aktif sekali mengambil momen kesana kemari. Jurnalis televisi itu dilihatnya menggunakan kamera yang sangat berkelas dengan speaker dan lensa yang cukup bagus pula. “Hal itu sempat membuat saya minder ketika berdampingan dalam peliputan May Day kali ini,” jelasnya.
Sigit, juru kamera dan pengisi suara paket, menegaskan pentingnya fisik yang prima bagi seorang jurnalis. “Kendala saat peliputan May Day 2017 adalah fisik saya yang kurang prima, dapat mempengaruhi hasil kerja selama peliputan berlangsung. Belum lagi cuaca yang panas di kota Jakarta memperburuk kondisi fisik saya,” kenangnya. Solusi Sigit saat itu yakni, saat peliputan berlangsung harus tetap bersama teman sekelompok, jangan terlalu jauh dengan mereka, sehingga dapat saling membantu jika ada kesulitan. “Lalu, beristirahatlah sejenak/berteduh di tempat yang sedikit sejuk untuk memulihkan kondisi,” terang pemegang ‘senjata’ kamera Canon 700 d beserta tripod ini.
Adapun Joshua mengaku, menjadi reporter di saat Mayday, dengan jumlah massa yang sangat banyak menjadi tantangan baru dan luar biasa baginya. “Namun, hal itu harus dihadapi karena setiap tantangan menjadikan saya semakin tau medan dan cara mengahadapinya agar kelak menjadi bekal menjadi wartawan profesional,” kata Joshua.
Selain sebagai reporter, Joshua juga bekerja keras sebagai editor video. Hal yang paling membuatnya sedikit kesusahan adalah saat video yang direkam saat liputan, audionya kurang kedengaran karena bisingnya suara orasi buruh . “Memperbaiki suara audionya dengan beberapa kali mengurangi noise, menambahkan volume suara dan lain lain menjadi kesulitan tersendiri bagi saya,” paparnya.
Kevin sang anchor berkisah, perannya sebagai pembawa berita harus banyak memiliki pendalaman dalam setiap informasi yang akan dibacakan untuk khalayak, serta juga menguasai nada atau intonasi suara secara lantang atau rendahnya sebuah volume suara. “Saya sendiri pun harus memperbanyak menonton dan membaca berita agar mempunyai kemampuan untuk menganalisa setiap permasalahan. Bahasa tubuh juga harus lebih luwes agar lebih percaya diri dan membuat lebih menarik ketika berbicara,” ungkapnya. Nah, kurang luwes, itu PR yang harus membuat Kevin lebih banyak berlatih!
Juru kamera satu lagi, Farel, menguraikan kerja kerasnya. “Segala kemudahan didapatkan karena banyaknya wartawan yang dapat dijadikan patokan dalam mengambil foto. Banyaknya teman satu angkatan yang kebetulan meliput May Day juga dapat menjadi referensi saya dalam mengambil visual yang bagus,” jelasnya.
Berdesakan mengambil gambar dan suara Said Iqbal memberinya memori tersendiri. Banyak wartawan dan teman seangkatan berebut dalam mengambil momen penting saat Ketua KSPI itu memberikan orasinya. “Cara mengatasinya dengan memakai tripod dan mengangkat tinggi kamera sehingga memberikan sudut high angle,” tukasnya.
Kendala selanjutnya yaitu kurang bagusnya kualitas audio saat Said Iqbal ber-orasi. “Saya mengatasinya dengan cara menyelinap melalui sela sela wartawan dan menyodorkan HP ke Said Iqbal,” ujar Farel memaparkan ‘trick’-nya.