Liputan aksi Hari Buruh yang terasa berbeda, karena para pengunjukrasa tak boleh mendekati Istana Merdeka.
Berbeda dengan kebanyakan mahasiswa yang memilih boyband Korea BTS sebagai topik Ujian Akhir Semester mata kuliah Jurnalistik Televisi Universitas Multimedia Nusantara, tema berbeda diambil Cindy Hienarta, Sarah Elizabet, Pricilia Indah Pratiwi, Silvia Veronika, Nathania Kinanti dan Utari Rahadi.
Mereka memutuskan meliput aksi ‘May Day’ atau Hari Buruh 2017 yang tentu memiliki atmosfer dan ambience berbeda dibandingkan dengan liputan konser. Dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing, ‘ crowd’ buruh tentu berbeda dengan keramaian anak-anak muda pengila budaya Korea.
Cara tim ini mengemas paket liputan mereka sudah amat keren. Komposisi gambar jelas, pengambilan footage variatif, serta suasana taping studio maupun dua reporter di lapangan sangat ‘hidup’.
Masukan minor ada pada posisi tangan duo host, Cindy dan Sarah. Baiknya tak usah ‘ngapurancang’ ala penyanyi paduan suara. Bebaskan saja tangannya, agar bisa bergerak luwes. Atau, jika perlu sesuatu untuk dipegang, berikan ‘tablet’ atau gawai lain sebagai pemandu berita yang akan dibaca.
Grafis yang diberikan pun patut diacungi jempol. Ringkas, jelas, dan mudah dipahami.
Pada sesi live Vero, ia tampak matang dan percaya diri. Kalaupun ada masukan, Vero kurang dekat dengan latar belakang. Kalau ia mau menunjukkan pasukan pengamanan, harusnya ia lebih ‘close’ dengan polisi, TNI, maupun Satpol Pamong Praja di dekatnya. Beruntung footage insert yang dimilikinya cukup kaya.
Split berikutnya mengarah ke Pricil, juga keren. Entah berapa kali ‘take’ dilakukan, Pricil nampak tegas dengan membawakan tema yang jelas: aksi yang diblokade menjelang Istana. Wawancaranya dengan aktivis LBH juga sangat clear. Masukan minor, sebaiknya reporter jangan menyebut narasumber dengan ‘Mas’. Cukup sapa nama langsung atau dengan panggilan ‘Anda’.
Berani di muka kamera
Cindy berkisah, tampil sebagai host program atau news anchor. “Selama ini saya selalu menghindari tugas untuk berada di depan kamera karena merasa tidak memiliki keahlian dan kepercayaan diri untuk itu. Namun, kali ini, saya merasa ingin mulai belajar menantang diri,” ungkapnya.
Walaupun sangat gugup, Cindy berusaha untuk terlihat komunikatif di depan kamera dan berusaha menciptakan pembawaan sebaik mungkin agar berita dapat tersampaikan dengan baik.
Sarah menceritakan peran gandanya sebagai campers saat 1 Mei maupun sebagai host program. Sebagai juru kamera, Sarah merasa ada ‘feel’ tersendiri, dikarenakan ia memang suka kerja di lapangan. “Saya berusaha mencari angle yang terbaik, agar gambar yang dapat dimasukan dalam paket jadi bagus,” ungkapnya.
Reporter live Presi memaparkan, liputan Mayday merupakan pengalaman pertama meliput aksi demonstrasi yang berskala besar. “Dalam liputan kali ini saya bertugas sebagai reporter dan ini pengalaman saya yang pertama karena biasanya saya hanya di belakang layar, seperti menjadi script writer atau pun editor,” jelasnya.
Karena merupakan pengalamannya menjadi reporter on-cam, Presi mengaku begitu terlena dengan hiruk pikuk demonstrasi yang berlangsung, sehingga menyebabkan ia tidak memperhatikan penampilan, padahal saya harus on cam. “Alhasil, saat reportase, penampilan saya sudah lusuh dan kucel,” katanya mengevaluasi diri. Presi menyimpulkan, ‘perencanaan itu bagus, tetapi jika sudah di lapangan harus siap dengan segala kemungkinan yang terjadi’.
Vero, reporter live lain, mengungkapkan, lelas TV Journal sangat menggambarkan cukup jelas bagaimana tugas seorang jurnalis bertugas, baik itu news ataupun program. “Dalam ruang kelas juga didukung pengetahuan mengenai berita-berita dan video yang uptodate setiap minggunya,” kenangnya.
Mereka juga belajar bagaimana menghadapi kendala minimnya alat. “Tetapi dengan semaksimal mungkin kita menggunakan dengan baik alat yang kita miliki. Dengan pengetahuan kita, kita mencoba take News Anchor di News Room dengan kamera DSLR, audio handphone, dan laptop yang digunakan sebagai pengganti promter,” urai Vero.
Cameraperson Kinan berkisah, liputan MayDay jadi ya cukup berkesan. “Kelompok saya juga termasuk kelompok yang enak diajak bekerja sama. Walaupun berbeda jadwal sehingga jarang bertemu karena berbeda jadwal namun tetap bisa bekerja sama dengan baik,” tuturnya.
Jurukamera, editor, dan penulis naskah Utari Rahadi menulis testimoninya bahwa liputan May Day ini menjadi pengalaman yang baru baginya.”Saya merasakan bagaimana rasanya menjadi wartawan yang sesungguhnya. Mulai dari datang pagi-pagi, mengambil gambar di bawah terik matahari, sampai terpisah dari kelompok sendiri karena terlalu asyik memotret,” ungkap Tari yang berbekal camera canon 70D, tripod, dan juga handphone untuk merekam audio.
Saat memasuki pasca editing, teman-teman mempercayakannya untuk menjadi editor. “Padahal pada saat itu saya belum terlalu bisa mengedit video, hanya cut to cut saja yang saya bisa. Tetapi apa boleh buat, saya harus tetap mengerjakan tugas ini,” tegasnya.
Dari kepercayaan itulah, Tari mulai belajar mengedit video dan membuka tutorial-tutorial yang ada di youtube. “Sedikit demi sedikit saya mulai mempelajari detail-detail mengedit video, walaupun banyak sekali kendala pada saat saya menjadi editor,” terangnya.
Simpulnya, tugas seperti ini sangat menyenangkan bagi mereka yang enjoy dan menyukai hal-hal yang baru. Pungkas Tari, “Saya jadi banyak belajar dengan adanya tugas ini, walaupun sangat capek dan lelah pada saat liputan, tetapi pengalamannya yang sangat luar biasa!”