Tapi, jika melihat trend laga akhir-akhir ini, banyak analis pertandingan menyatakan, Liga Inggris musim ini sudah selesai. Mereka berpendapat, dominasi kuat Manchester City begitu susah ditandingi. Dari 18 game week, tim asuhan Josep ‘Pep’ Guardiola Sala ini belum terkalahkan. Luar biasanya, tim yang berjuluk ‘Manchester Biru’ ini hanya kehilangan dua angka, karena Gabriel Jesus dkk menang 17 kali dan hanya sekali tertahan oleh Everton 1-1 pada 21 Agustus di Stadion Etihad. Dari 18 pertandingan, The Citizen melesakkan 56 gol dan hanya 12 kali kebobolan.

Jika City bisa mempertahankan trend seperti ini, tentu tak bisa dibantah, Liga Inggris musim ini sudah bisa ditebak juaranya. Sebelum Natal tiba saja, jarak antara City dengan Manchester United di peringkat kedua mencapai sebelas poin. Dua digit disparitas angka menjadi bukti superioritasnya tim yang musim lalu hanya berada di peringkat ketiga ini.

Jadi, apakah Liga Inggris season ini sudah kelar? Jawabannya, tergantung trend awal tahun depan. Karena sepakbola bukanlah matematika. Semua masih bisa terjadi, sepanjang nilai yang dikumpulkan sebuah tim belum benar-benar tak bisa dikejar tim lain secara total.

Pertanyaan serupa kemudian terlempar untuk Pemilihan Presiden 2019. Saat ada analis politik yang nyeletuk, bahwa semua ‘huru-hara’ politik belakangan ini bermuara pada satu hal: keinginan menjadi calon wakil presiden Jokowi. Sebutlah nama-nama para politisi yang beredar di media belakangan. Konon, ujung-ujungnya semua berebut satu posisi yang sama.

Benarkah demikian? Apakah status menjadi calon penantang Jokowi sudah tak begitu menggairahkan untuk diperebutkan, sehingga para elit politik hanya bernafsu menjadi calon RI-2 bagi Jokowi?

Jadi teringat kisah pencalonan Susilo Bambang Yudhoyono pada periode kedua, 2009-2014. Karena dianggap SBY begitu superior, sampai-sampai ada yang menyebut, seandainya dipasangkan dengan ‘sendal jepit’ pun, SBY akan menang.

Nyatanya, SBY -yang asal Pacitan- dipasangkan dengan Budiono -Gubernur Bank Indonesia yang asal Blitar, dari Jawa Timur juga. Faktanya, pasangan nomor urut 2 itu akhirnya menang telak, cukup satu putaran. SBY-Boediono meraup 73.874.562 suara atau 60,80 persen pemilih, jauh dibandingkan Mega-Prabowo 32.548.105 suara (26,79%) dan Jusuf Kalla-Wiranto di posisi ketiga -sesuai nomor urutnya- yang mendapat 15.081.814 suara alias 12,41%. Antara juara dan runner-up terpaut 34 persen perolehan suara!

Adapun pada Pilpres 2014, perolehan suara Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta Rajasa terbilang ketat. Pasangan nomor dua, Jokowi-JK memperoleh 70.997.833 suara atau 55,15 persen pemilih, berbanding raihan Prabowo-Hatta yang mengumpulkan 62.576.444 suara atau 46,85 persen pemilih. Tak sampai sepuluh persen bedanya.

Jadi, apakah Pilpres 2019 sudah kelar? Sudah bisa ditebak pemenangnya sebagaimana Pilpres 2009?

Tidak juga. Karena sebagaimana si kulit bundar, politik pun bukan matematika. Masih banyak hal bisa terjadi hingga coblosan pada 17 April 2019 mendatang. Teringat, betapa Gubernur Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama yang sangat meraup simpati berdasarkan hasil kerja dan popularitasnya, akhirnya terseok di putaran kedua Pemilihan Gubernur DKI 2017 lalu.

Berbagai analis maupun lembaga politik menjelaskan betapa suara Jokowi saat ini amat tinggi dibandingkan kandidat lain. Tapi, seperti ditegaskan Indikator Politik Indonesia’, “sementara ini Jokowi unggul dalam simulasi head-to-head, tapi elektabilitas Prabowo tak bisa diremehkan mengingat selama tiga tahun terakhir Prabowo belum melakukan aktivitas sosialisasi secara memadai”.

So, Pep Guardiola dan Jokowi -beserta para pendukungnya, belum saatnya berpuas diri. Masih banyak yang harus dibenahi sebelum peluit panjang benar-benar berbunyi…